Jumat, 16 September 2016

Indonesia Milenial: Indonesia Kemakmuran Merata



Indonesia Milenial: Indonesia Kemakmuran Merata


Adakah yang merasa kita ini butuh teknologi hebat seperti saat ini atau layaknya film-film karangan penulis yang hobinya minum alkohol? Bisakah kita dengan teknologi sehebat itu memperoleh informasi yang dari datang dari mana saja? Seperlu apakah bangsa Indonesia membutuhkan internet cepat demi mengakses informasi?
Semua pertanyaan itu memang perlu dijawab iya. Agar Indonesia tidak menjadi negara yang tertinggal. Agar kita tidak kalah dengan negara-negara lain yang sudah menguasai pasar. Hanya saja, apakah Indonesia ini sudah layak berada setara dengan negara maju? Tentu tidak. Indonesia akan terlalu susah untuk menyaingi negara maju manapun, karena kita masih terus berkembang dan Indonesia akan terus menjadi sesuatu yang disuapi oleh negara maju. Sementara negara maju sendiri sudah berhenti kemajuannya. Mereka hanya mengembangkan hal lama menjadi baru. Mereka belum benar-benar menemukan hal baru. Ada yang bilang, hal original tidak akan ada karena semuanya sudah diketahui, ada benarnya juga. Produk teknologi informasi yang sedang Anda pakai sehari-hari hanya pengembangan produk sebelumnya yang tak jauh beda dari versi pertama produk itu diluncurkan.
Ambillah contoh produk hape yang fungsinya dari dulu adalah menggenggam telepon. Itu saja kok fungsi hape, lalu ada seorang inovator yang menggabungkan produk itu dengan berbagai hal sehingga yang dulunya sekedar disebut handphone berevolusi menjadi smartphone. Bahkan bisa dibilang ketika teknologi semakin maju, ada sedikit kemunduran di dalam teknologi tersebut. Kita dulu mengenal hape dengan dua belas tombol. Lalu muncul hape dengan keyboard komputer. Muncul lagi hape dengan layar. Lalu akan muncul hape tanpa layar. Produk yang dulu Anda genggam, kini tak lagi Anda genggam. Mau berbicara soal kepraktisan, hal ini semakin menjauh lagi dengan kemajuan.
Terlalu berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi, tak membuat keadaan pasar kecil bisa stabil. Pasar-pasar kecil ini adalah pasar yang mendapatkan rezeki saat pasar besar sedang kelimpahan permintaan. Hanya saja, keadaan pasar ini sungguh tidak terlihat. Ini bukan seperti pasar daring, di mana ada barang tapi toko tak nampak. Namun lebih menunjuk kepada pelaku industri di dalamnya.
Sebuah ilustrasi singkat mengenai keadaan pasar kecil ini: pasar besar mengeluarkan hape pintar—disebut gawai, model terbaru. Konsumen tertarik dan akhirnya permintaan bertambah. Muncul pasar-pasar kecil di mana dia ada bukan untuk mengambil alih pasar besar tapi justru mendukung pasar besar. Pasar kecil di mana ia tak mampu mengeluarkan modal untuk membuat gawai yang lebih canggih, dia justru membuat aksesori pelengkap gawai tersebut, semisal: anti gores, dompet dan sebagainya yang tidak dikeluarkan oleh pasar besar. Konsumen pun senang dengan keadaan ini, pasar kecil bisa mengambil keuntungan tak sebanyak yang dilakukan oleh pasar besar. Nah suatu ketika, gawai yang diproduksi sudah tidak ada layarnya lagi. Konsumen pun tertarik dan menjual gawai lama mereka demi mendapatkan gawai baru. Apakah pasar kecil akan membuat aksesori tambahan seperti sebelumnya? Antara iya dan tidak. Namun tetap saja, pasar kecil ini tidak bisa menjadi pasar yang besar dan bisa menguasai konsumen semasif yang dilakukan oleh perusahaan luar negeri di mana kita selalu mengekspor barang maju itu dari mereka.
Kematian pasar kecil ini berbuntut panjang pada teknologi lainnya. Bahkan bisa saja komunikasi akan berimbas melihat sekarang kita bisa isi pulsa via ATM. Bayangkan kalau sebuah provider dan bank bekerja sama sehingga konsumen hanya bisa isi pulsa via ATM dan membuat ATM itu perlu uang sedikitnya lima ratus ribu, apakah konsumen dan produsen kecil—semisal counter pulsa, masih bisa disejahterakan? Bagaimana dengan yang mencari peruntungan dengan menginvestasi semua yang dimiliki ke pasar kecil ini?
Membangun Indonesia melalui teknologi informasi dan komunikasi harus bertujuan untuk kemakmuran rakyat—walau yang harus digarisbawahi memang rakyat kecil. Indonesia bukanlah milik produsen dan tangan-tangan tak kasat mata. Tentunya kemakmuran merata adalah sebuah cita-cita adiluhung ditambah adanya keberadaban yang maju. Yang di atas jika ingin menjadi lebih makmur harus berinvestasi seperti tangga yang dapat dilalui oleh siapa pun; semua harus mendapat makan sampai lini manapun sehingga yang pernah berada di bawah bisa merasakan yang di atas. Agar tidak terjadi lagi semua perbandingan si besar dan si kecil.
Bayangkan jika teknologi itu terus berkembang, berapa banyak dari bangsa ini yang mampu beradaptasi? Di saat ini pun, jauh lebih banyak manakah orang yang buta huruf atau yang punya gawai?
Rakyat kecil di Indonesia saat ini apakah sudah merasakan dampak dari teknologi informasi? Lebih mudah manakah membangun menara penguat sinyal dibanding membangun jalan beraspal di daerah terpencil?
Teknologi yang harus dibangun bukan sekedar teknologi untuk sekedar pamer diri. Teknologi tepat gunalah yang harus dimiliki rakyat. Semisal: seberapakah penting sebuah gawai keluaran terbaru dimiliki petani di saat sawahnya diserang hama? Tentu dengan adanya aplikasi di gawai, petani bisa melihat saat ini sedang musim apa berdasarkan perhitungan suhu dan kelembaban udara, namun petani yang sering ke sawah akan sudah terlalu pandai membaca alam daripada membaca aplikasi tersebut. Yang dimaksudkan teknologi tepat guna adalah misalkan dalam kasus petani tadi, petani mampu menggerakkan disel, traktor ataupun menyiangi tanpa perlu dia turun ke sawah. Walaupun sepertinya teknologi semacam itu sepertinya sulit direalisasikan dalam waktu dekat, kegunaan gawai bisa dimanfaatkan para petani untuk mengetahui harga jual hasil bumi dari genggamannya. Inilah mungkin bisa membantu petani yang daerahnya belum dibangun jalan tapi sudah ada menara sinyal sehingga petani tidak perlu membuang tenaga untuk pergi menjual di saat harga jualnya sedang anjlok. Inlah yang disebut dengan teknologi tepat guna. Pun Menkominfo sudah memberikan pelayanan website gratis untuk satu tahun demi memberi bantuan wirausaha untuk menjual produknya lewat internet. Bayangkan jika situs-situs yang dibikin oleh setiap desa terintegrasi dengan baik, kemajuan akan dirasakan oleh rakyat yang jauh dari jalan. Mungkin jika usaha mereka sukses tanpa bantuan pemerintah para wirausahawan ini sanggup membuat jalan aspalnya sendiri.
Teknologi informasi memang digunakan untuk memudahkan, tapi bukan lantas harus menunggu foto anak-anak kecil berusaha menyeberangi jembatan di atas kali deras menjadi viral di internet baru kita bergerak, lalu apakah ini yang namanya membangun. Apakah membangun Indonesia di sini sudah merata atau justru banyak ketimpangan yang merugikan suatu pihak?
Selain membangun infrastruktur, teknologi informasi juga harus dibuat untuk membangun mental. Jangan biarkan revolusi mental yang dijadikan jargon kampanye presidensial itu hanya sekedar bumbu manis di spanduk dan kaos gratisan. Mental inilah diharapkan menjadi fondasi semisal memang lebih gampang membangun menara penguat sinyal daripada membangun jalan atau sumur bersih. Tapi tidak lantas badan sensor sewenang-wenang mengambil keputusan. Dunia maya di kemajuan informasi seperti saat ini adalah lubang gelap yang tak bisa diintip hanya dengan sebelah mata. Sebuah survei sendiri mengatakan bahwa 25.000 anak membuka situs porno setiap harinya. Survei ini harusnya menjadi acuan agar kita lebih sering memberi informasi yang tepat kepada anak kita. Bukan lantas langsung menghakimi dan mendesak pemerintah untuk menutup akses internet. Bisa saja ada anak-anak di tempat lain membuka internet untuk membantu dirinya memahami pelajaran di sekolah walau lebih banyak anak yang sering melihat para Youtubers beraksi. Ada yang jauh lebih baik ditonton di internet daripada Youtubers kok. Memang para youtubers ini tidak salah mereka menggunakan ide kreasi mereka untuk mendapatkan uang lewat apa yang mereka perlihatkan. Mental anak-anaklah yang harus dibimbing apakah mereka sudah siap melihat para pemain Youtube ini mempengaruhi mereka secara baik atau tidak. Bahkan kita sendiri tidak bisa menghentikan kalau cita-cita anak seorang petani yang setiap hari ayahnya bertani di sawah milik orang lain, tiba-tiba berkata, “Yah ... besok kalau aku udah besar, aku mau main suling terus upload di Youtube.” 
Inikah wajah Indonesia yang ingin kita bangun? Apakah Anda siap kalau 30 tahun lagi Anda akan dipimpin oleh generasi semacam ini?
haruskah ini menjadi wajah generasi pemimpin selanjutnya? sumber gambar: http://www.newsth.com/bintang/wp-content/uploads/2016/07/Awkarin..1.jpg

Membangun mental juga tidak lantas kita setiap hari harus rajin share ayat-ayat suci kepada setiap pertemanan kita. Kita tak perlu menjadi ulama jebolan wikipedia dengan sumber Google. Mental yang sehat adalah tahu apa yang akan diterima oleh otak kita sebelum membagikannya kepada yang lain.
Seringnya informasi yang diterima oleh para pengguna gawai tiga puluh persennya adalah pesan kebencian atau salah informasi. Apakah ini bukti nyata bahwa pendidikan wajib belajar kita berjalan salah? Seringnya terprovokasi, saling memberi umpatan kasar atau bahkan penghinaan menjadi rutinitas setiap jamnya kalau sering kita menengok di situs sosial media. Apakah mental seperti ini yang kita harapkan demi kemajuan bangsa?
Berkomunikasi dengan baik secara tidak langsung merefleksikan kehidupan sosial kita. Selayaknya pula etika, sikap serta keramah-tamahan yang menjadi ciri bangsa ini tidak hilang. Bercanda pun tidak boleh kelewatan sebab saat ini sudah ada UU yang mengatur tentang TIK. Sehingga tak jarang kita mendengar kasus orang yang dipenjara gara-gara ucapan kasarnya di internet.
Membangun Indonesia melalui teknologi informasi dan komunikasi adalah sebuah jalan terjal yang layak kita lalui bukan hanya karena kita tidak ingin menjadi bangsa yang ketinggalan dengan bangsa lain tapi hanya untuk membuat kita menjadi Indonesia lagi. Bukan lantas kita menyuruh orang lain untuk segera mengikuti ketertinggalan yang tak sanggup mereka ikuti, karena kita tahu tingkat adaptasi orang berbeda-beda. Bukan lantas kita menjadi penyebar kabar buruk hanya karena kita berpedoman dari apa yang kita pegang atau dari judul artikel yang menarik. Bukan lantas pula kita menjadi pencandu teknologi dan tidak memikirkan bahwa Indonesia butuh dibangun secara nyata oleh kerja nyata. 

(tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog kitaindonesia.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar