Kamis, 14 September 2017

Pernikahan Amplop



Seorang teman duduk di kursi bambu di hadapan saya yang dibatasi oleh meja kayu dilapisi oleh plastik berpola kotak yang penuh dengan bekas cangkir kopi. Setelah duduk, dia membuka ponselnya dan kusodori rokok kretek yang tidak ia ragu-ragu sudah nangkring di mulutnya sekarang.

“Lantas bagaimana?” ucapnya setelah kopi yang ia pesan diletakkan di sebelah kopiku.

“Apanya?”

“Ya ingin kubicarakan sama kamu itu.”

“Oh itu...”

Permasalahannya terbilang sepele tapi aku juga tidak mampu menjawab asal-asalan. 

Bulan September ini dia mendadak dikirimi oleh jumlah undangan pernikahan lebih dari lima buah. Tiga di antaranya atas namanya dia sendiri, “Mereka temanku,” sementara yang lain atas nama ayahnya, “Utang keluargaku.”

“Bukannya kalau diterima undangan nikah dari teman kau harusnya bahagia?”

“Iya. Tapi kalau cuma pesan dari SMS, WA dan sebagainya aku ogah. Bukannya aku ini gila hormat tapi bagiku undangan kertas itu bukti. Yang bisa kusimpan dan tak hilang dan kekal. Juga kenang-kenangan. Lagi pula dari sepuluh pernikahan yang kudatangi selama ini cuma tiga yang mau ngasih souvenir setiap tamunya pulang.”

“Lha kalau undangan SMS dan sebagainya kan juga bisa disimpan. Toh sekarang server google juga banyak kapasitasnya.”

“Ngasih undangan kok pelit sih. Niat ngundang apa tidak?”

Awalnya seperti itu kemudian dia mengajak aku bertemu untuk menjawab kegelisahannya.

“Aku kasihan kepada calon istriku kelak. Suatu kali kita akan mengadakan pesta pernikahan. Karena sifat pesta itu senang-senang, maka kami berkomitmen bahwa orang lain juga harus ikut senang. Kami akan mengundang orang-orang. Kerabat, tetangga, sahabat, saudara dan teman. Semua akan kami undang dengan kertas undangan yang tak seapik cover buku-bukunya Tere Liye atau Boy Candra, setidaknya harus sama dengan buku –buku sejarah yang hanya laku saat obralan itu. Pilihan kami memang aneh tapi itulah karena kami sama-sama cinta buku. Mungkin souvenir pernikahan kami agar orang tetap mengenang pesta itu adalah sebuah buku yang kutulis dan istriku tulis juga. Tapi entahlah. Mertua terkadang aneh dan dia memilih untuk mengambil separuh uang souvenir untuk menambah menu prasmanan dan mengganti souvenir yang seharusnya buku cetak itu menjadi gunting kuku. Kalau pun gunting kuku, aku tidak menolak seandainya gunting kuku tersebut ada pencapit pembuka botolnya. 

“Karena aku punya banyak teman dan calon istriku juga banyak teman, maka kita akan mengundang banyak sekali. Tapi ternyata teman-temanku tak sebanyak istriku. Karena apa....”

“Lha apa?”

Dia menghela nafas sembari mengeluarkan asap dari hidungnya. Kalau saja kulitnya hitam dia sudah persis dengan lokomotif. 

“Teman-temanku itu pernah berusaha mengundang aku ke pesta pernikahan mereka. Tapi aku tidak datang karena dua hal. Aku tidak mampu datang ke pesta pernikahan tanpa amplop atau mereka mengundang aku hanya dengan sepilihan puisi Djoko Darmono di SMS yang mereka broadcast.”

“Jadi masalahnya?”

“Apa yang harus kukatakan kepada calon istriku jika ternyata teman-teman yang kuundang tidak datang karena mereka tahu aku tidak datang ke pernikahan mereka? Karena mereka tahu aku datang tapi tidak membawa amplop? Mereka tahu kalau mereka tidak punya hutang ke aku. Jadi mereka bisa membuat alasan untuk merepotkan diri dan...”

“Dan?”

“Pesta kami sepi?”

“Astaga segitunya?”

Ya memang begitu. Adat pernikahan tidak cukup untuk datang mengucapkan selamat. Amplop dan saling membalasnya adalah sebuah adat mematikan harapan yang kini mengguncang temanku ini. Kegelisahannya begitu meluas. Pernah dia mau berhutang hanya untuk mengisi amplop tapi karena dia tahu utang tak bisa dia bayar jatuh tempo, ia akhirnya tidak datang ke pernikahan temannya. Begitu setelah menikah dan ia bertemu temannya itu, dia mengeluarkan jurus berkelit handal, “Kukira undangannya besok. Hari itu aku ke luar kota. Duh maaf ya...”

Padahal....

“Jadi kamu takut teman-temanmu tidak datang dan kamu malu dengan calon istrimu kalau teman yang kamu undang tidak begitu banyak?”

“Begitulah.”

“Selayaknya pesta ya harusnya ramailah.”

“Kalau cuma tetanggamu saja?”

“Ya mereka datang hanya untuk memberi selamat aku karena mereka kenal ayah atau ibuku. Bukan aku. Pesta macam apa itu?”

“Lho ya tadi kan kamu bilang kalau pesta itu menyiarkan tentang kegembiraan. Siapa tahu saat kamu menggelar pesta pernikahan itu ada tetanggamu kehabisan stok beras dan dia bisa makan di tempatmu, sama saja kan?”

“Ya sama saja. Tapi kau pernah berpikir apa anggapan calon istriku dan mertuaku? Mertua akan berbisik, ‘Menantuku ternyata orang yang kurang bergaul. Kok bisa-bisanya anak kita kena dia ya? Pelet pasti.’ Dan istriku, dia akan bilang, ‘Makanya kamu itu kalau main yang jauh. Siapa tahu kamu jodohnya sama Melody atau Nabila. Bukan sama aku.’”

“Kamu terlalu takut sama bayanganmu sendiri. Semua itu cuma gambaran yang belum tentu terjadi. Semua manusia kan nggak sempurna. Ya wajar. Sebanyak-banyaknya teman yang datang ke pesta pernikahanmu itu, berapa banyak temanmu yang akan maju paling depan jika kamu nggak punya duit?”

“Kamu?”

“Mungkin. Tapi saat itu aku ada di luar kota dan kupikir kamu hutangnya baru besok.”

“Asu.”

“Niat kamu mengundang kan baik. Ya sudah. Datang atau tidak kamu sudah memberi tahu mereka. Lebih sakit lagi kalau kamu tiba-tiba tidak memberi kabar mereka perkara pestamu ini. Walau acaramu tak seberapa, teman hanya ingin tahu kabarmu dan syukur-syukur uangmu kalau mereka butuh. Ya kayak agama gitulah. Banyak yang memberi tahu bahwa di akhir jaman akan ada pesta akbar. Yang diundang? Seluruh orang di dunia. Yang datang?”

“Jangan sok khotbah kamu. Kopimu dirubungi semut tuh.”

Setelah kujentiki dua, tiga semut, temanku mulai mengoceh lagi tentang kekhawatiran calon istrinya.

“Semoga ia sanggup menerima aku yang punya teman banyak di warung tapi tidak ada satu pun dari mereka datang ke pernikahanku atau saat aku butuh pinjaman uang.”
Semoga. Lalu aku bertanya kepadanya, “Omong-omong, siapa calon istrimu?”

“Belum ada.”

Asu.