Indonesia Milenial: Indonesia Kemakmuran Merata
Adakah yang
merasa kita ini butuh teknologi hebat seperti saat ini atau layaknya film-film
karangan penulis yang hobinya minum alkohol? Bisakah kita dengan teknologi
sehebat itu memperoleh informasi yang dari datang dari mana saja? Seperlu apakah
bangsa Indonesia membutuhkan internet cepat demi mengakses informasi?
Semua pertanyaan
itu memang perlu dijawab iya. Agar Indonesia tidak menjadi negara yang
tertinggal. Agar kita tidak kalah dengan negara-negara lain yang sudah
menguasai pasar. Hanya saja, apakah Indonesia ini sudah layak berada setara
dengan negara maju? Tentu tidak. Indonesia akan terlalu susah untuk menyaingi
negara maju manapun, karena kita masih terus berkembang dan Indonesia akan
terus menjadi sesuatu yang disuapi oleh negara maju. Sementara negara maju
sendiri sudah berhenti kemajuannya. Mereka hanya mengembangkan hal lama menjadi
baru. Mereka belum benar-benar menemukan hal baru. Ada yang bilang, hal
original tidak akan ada karena semuanya sudah diketahui, ada benarnya juga. Produk
teknologi informasi yang sedang Anda pakai sehari-hari hanya pengembangan
produk sebelumnya yang tak jauh beda dari versi pertama produk itu diluncurkan.
Ambillah contoh
produk hape yang fungsinya dari dulu adalah menggenggam telepon. Itu saja kok
fungsi hape, lalu ada seorang inovator yang menggabungkan produk itu dengan
berbagai hal sehingga yang dulunya sekedar disebut handphone berevolusi menjadi
smartphone. Bahkan bisa dibilang ketika teknologi semakin maju, ada sedikit
kemunduran di dalam teknologi tersebut. Kita dulu mengenal hape dengan dua
belas tombol. Lalu muncul hape dengan keyboard komputer. Muncul lagi hape
dengan layar. Lalu akan muncul hape tanpa layar. Produk yang dulu Anda genggam,
kini tak lagi Anda genggam. Mau berbicara soal kepraktisan, hal ini semakin
menjauh lagi dengan kemajuan.
Terlalu berkembangnya
teknologi komunikasi dan informasi, tak membuat keadaan pasar kecil bisa
stabil. Pasar-pasar kecil ini adalah pasar yang mendapatkan rezeki saat pasar
besar sedang kelimpahan permintaan. Hanya saja, keadaan pasar ini sungguh tidak
terlihat. Ini bukan seperti pasar daring, di mana ada barang tapi toko tak
nampak. Namun lebih menunjuk kepada pelaku industri di dalamnya.
Sebuah ilustrasi
singkat mengenai keadaan pasar kecil ini: pasar besar mengeluarkan hape pintar—disebut
gawai, model terbaru. Konsumen tertarik dan akhirnya permintaan bertambah. Muncul
pasar-pasar kecil di mana dia ada bukan untuk mengambil alih pasar besar tapi
justru mendukung pasar besar. Pasar kecil di mana ia tak mampu mengeluarkan
modal untuk membuat gawai yang lebih canggih, dia justru membuat aksesori
pelengkap gawai tersebut, semisal: anti gores, dompet dan sebagainya yang tidak
dikeluarkan oleh pasar besar. Konsumen pun senang dengan keadaan ini, pasar
kecil bisa mengambil keuntungan tak sebanyak yang dilakukan oleh pasar besar. Nah
suatu ketika, gawai yang diproduksi sudah tidak ada layarnya lagi. Konsumen pun
tertarik dan menjual gawai lama mereka demi mendapatkan gawai baru. Apakah
pasar kecil akan membuat aksesori tambahan seperti sebelumnya? Antara iya dan
tidak. Namun tetap saja, pasar kecil ini tidak bisa menjadi pasar yang besar
dan bisa menguasai konsumen semasif yang dilakukan oleh perusahaan luar negeri
di mana kita selalu mengekspor barang maju itu dari mereka.
Kematian pasar
kecil ini berbuntut panjang pada teknologi lainnya. Bahkan bisa saja komunikasi
akan berimbas melihat sekarang kita bisa isi pulsa via ATM. Bayangkan kalau
sebuah provider dan bank bekerja sama sehingga konsumen hanya bisa isi pulsa
via ATM dan membuat ATM itu perlu uang sedikitnya lima ratus ribu, apakah
konsumen dan produsen kecil—semisal counter pulsa, masih bisa disejahterakan? Bagaimana
dengan yang mencari peruntungan dengan menginvestasi semua yang dimiliki ke
pasar kecil ini?
Membangun Indonesia
melalui teknologi informasi dan komunikasi harus bertujuan untuk kemakmuran rakyat—walau
yang harus digarisbawahi memang rakyat kecil. Indonesia bukanlah milik produsen
dan tangan-tangan tak kasat mata. Tentunya kemakmuran merata adalah sebuah
cita-cita adiluhung ditambah adanya keberadaban yang maju. Yang di atas jika
ingin menjadi lebih makmur harus berinvestasi seperti tangga yang dapat dilalui
oleh siapa pun; semua harus mendapat makan sampai lini manapun sehingga yang
pernah berada di bawah bisa merasakan yang di atas. Agar tidak terjadi lagi
semua perbandingan si besar dan si kecil.
Bayangkan jika
teknologi itu terus berkembang, berapa banyak dari bangsa ini yang mampu
beradaptasi? Di saat ini pun, jauh lebih banyak manakah orang yang buta huruf
atau yang punya gawai?
Rakyat kecil di
Indonesia saat ini apakah sudah merasakan dampak dari teknologi informasi? Lebih
mudah manakah membangun menara penguat sinyal dibanding membangun jalan beraspal
di daerah terpencil?
Teknologi yang
harus dibangun bukan sekedar teknologi untuk sekedar pamer diri. Teknologi tepat
gunalah yang harus dimiliki rakyat. Semisal: seberapakah penting sebuah gawai keluaran
terbaru dimiliki petani di saat sawahnya diserang hama? Tentu dengan adanya
aplikasi di gawai, petani bisa melihat saat ini sedang musim apa berdasarkan
perhitungan suhu dan kelembaban udara, namun petani yang sering ke sawah akan sudah
terlalu pandai membaca alam daripada membaca aplikasi tersebut. Yang dimaksudkan
teknologi tepat guna adalah misalkan dalam kasus petani tadi, petani mampu
menggerakkan disel, traktor ataupun menyiangi tanpa perlu dia turun ke sawah. Walaupun
sepertinya teknologi semacam itu sepertinya sulit direalisasikan dalam waktu
dekat, kegunaan gawai bisa dimanfaatkan para petani untuk mengetahui harga jual
hasil bumi dari genggamannya. Inilah mungkin bisa membantu petani yang
daerahnya belum dibangun jalan tapi sudah ada menara sinyal sehingga petani
tidak perlu membuang tenaga untuk pergi menjual di saat harga jualnya sedang
anjlok. Inlah yang disebut dengan teknologi tepat guna. Pun Menkominfo sudah
memberikan pelayanan website gratis untuk satu tahun demi memberi bantuan
wirausaha untuk menjual produknya lewat internet. Bayangkan jika situs-situs
yang dibikin oleh setiap desa terintegrasi dengan baik, kemajuan akan dirasakan
oleh rakyat yang jauh dari jalan. Mungkin jika usaha mereka sukses tanpa
bantuan pemerintah para wirausahawan ini sanggup membuat jalan aspalnya sendiri.
Teknologi informasi
memang digunakan untuk memudahkan, tapi bukan lantas harus menunggu foto
anak-anak kecil berusaha menyeberangi jembatan di atas kali deras menjadi viral
di internet baru kita bergerak, lalu apakah ini yang namanya membangun. Apakah membangun
Indonesia di sini sudah merata atau justru banyak ketimpangan yang merugikan
suatu pihak?
Selain membangun
infrastruktur, teknologi informasi juga harus dibuat untuk membangun mental. Jangan
biarkan revolusi mental yang dijadikan jargon kampanye presidensial itu hanya
sekedar bumbu manis di spanduk dan kaos gratisan. Mental inilah diharapkan
menjadi fondasi semisal memang lebih gampang membangun menara penguat sinyal
daripada membangun jalan atau sumur bersih. Tapi tidak lantas badan sensor
sewenang-wenang mengambil keputusan. Dunia maya di kemajuan informasi seperti
saat ini adalah lubang gelap yang tak bisa diintip hanya dengan sebelah mata. Sebuah
survei sendiri mengatakan bahwa 25.000 anak membuka situs porno setiap harinya.
Survei ini harusnya menjadi acuan agar kita lebih sering memberi informasi yang
tepat kepada anak kita. Bukan lantas langsung menghakimi dan mendesak
pemerintah untuk menutup akses internet. Bisa saja ada anak-anak di tempat lain
membuka internet untuk membantu dirinya memahami pelajaran di sekolah walau
lebih banyak anak yang sering melihat para Youtubers beraksi. Ada yang jauh
lebih baik ditonton di internet daripada Youtubers kok. Memang para youtubers
ini tidak salah mereka menggunakan ide kreasi mereka untuk mendapatkan uang
lewat apa yang mereka perlihatkan. Mental anak-anaklah yang harus dibimbing
apakah mereka sudah siap melihat para pemain Youtube ini mempengaruhi mereka
secara baik atau tidak. Bahkan kita sendiri tidak bisa menghentikan kalau
cita-cita anak seorang petani yang setiap hari ayahnya bertani di sawah milik
orang lain, tiba-tiba berkata, “Yah ... besok kalau aku udah besar, aku mau
main suling terus upload di Youtube.”
Inikah wajah Indonesia yang ingin kita
bangun? Apakah Anda siap kalau 30 tahun lagi Anda akan dipimpin oleh generasi semacam ini?
haruskah ini menjadi wajah generasi pemimpin selanjutnya? sumber gambar: http://www.newsth.com/bintang/wp-content/uploads/2016/07/Awkarin..1.jpg |
Membangun mental
juga tidak lantas kita setiap hari harus rajin share ayat-ayat suci kepada setiap pertemanan kita. Kita tak perlu
menjadi ulama jebolan wikipedia dengan sumber Google. Mental yang sehat adalah
tahu apa yang akan diterima oleh otak kita sebelum membagikannya kepada yang
lain.
Seringnya informasi
yang diterima oleh para pengguna gawai tiga puluh persennya adalah pesan
kebencian atau salah informasi. Apakah ini bukti nyata bahwa pendidikan wajib
belajar kita berjalan salah? Seringnya terprovokasi, saling memberi umpatan
kasar atau bahkan penghinaan menjadi rutinitas setiap jamnya kalau sering kita
menengok di situs sosial media. Apakah mental seperti ini yang kita harapkan
demi kemajuan bangsa?
Berkomunikasi dengan
baik secara tidak langsung merefleksikan kehidupan sosial kita. Selayaknya pula
etika, sikap serta keramah-tamahan yang menjadi ciri bangsa ini tidak hilang. Bercanda
pun tidak boleh kelewatan sebab saat ini sudah ada UU yang mengatur tentang
TIK. Sehingga tak jarang kita mendengar kasus orang yang dipenjara gara-gara
ucapan kasarnya di internet.
Membangun Indonesia
melalui teknologi informasi dan komunikasi adalah sebuah jalan terjal yang
layak kita lalui bukan hanya karena kita tidak ingin menjadi bangsa yang
ketinggalan dengan bangsa lain tapi hanya untuk membuat kita menjadi Indonesia
lagi. Bukan lantas kita menyuruh orang lain untuk segera mengikuti
ketertinggalan yang tak sanggup mereka ikuti, karena kita tahu tingkat adaptasi
orang berbeda-beda. Bukan lantas kita menjadi penyebar kabar buruk hanya karena
kita berpedoman dari apa yang kita pegang atau dari judul artikel yang menarik.
Bukan lantas pula kita menjadi pencandu teknologi dan tidak memikirkan bahwa
Indonesia butuh dibangun secara nyata oleh kerja nyata.
(tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog kitaindonesia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar