Kenapa tahun 2015 ini seorang Jacob Julian tidak terlalu banyak mengeluarkan karya.
Tidak. Jacob Julian masih berkarya tapi sudah bukan media tulisan lagi. Dan demi menuangkan ide dalam bentuk tulisan maka tulisan ini muncul.
Jacob Julian mengatakan bahwa tulisan cerita pendek ini dia tulis karena dia ingin blog ini tidak terlalu mati. Toh juga jarang ada pengunjung. Mana ada yang mau mengunjungi blog sepi dan membaca buku Jacob?
Kisah dalam #dongengsatir kali ini memang bertepatan dengan bulan puasa. Cerita di dalamnya murni dongeng. Jadi bila ada yang merasa terhina dengan tulisan ini silakan komentar sebanyak-banyaknya.
Bila menemukan kesamaan dengan #dongengsatir sebelumnya ... itu hanya universe yang dibuat Jacob bisa dibilang multi-verse.
Selamat menikmati dongeng ini dan blog ini akan diusahakan tetap berada eksistensinya.
ps: ilustrasi cerpen ini juga dibuat Jacob
ps: ilustrasi lainnya bisa dilihat di sini.
PEMUDA-PEMUDA YANG MENGANCAM PUASA
silly-silly, gimme potty |
Rokok keretek
yang masih terbakar itu dihisap pelan-pelan. Asap dia biarkan mengikuti angin.
Kayuhan sepeda lantas tak meningkat walau matahari menyengat. Aspal memantulkan
cahaya matahari tepat ke mata sehingga fatamorgana terjadi tepat di hadapannya.
Lagaknya tetap santai. Ini bulan puasa dan tak ada yang menegurnya merokok
walau melewati jalan umum pedesaan. Kulit hitamnya mengilat mengeluarkan
keringat. Dia mau cepat sampai ke tempat pengairan sawah. Belum sempat dia berbelok
dibalik semak-semak gajah, sebuah bogem mentah melayang mengenai pelipis.
Giginya menggigit kuat-kuat keretek agar tak jatuh. Naas, tubuhnya justru oleng
sehingga pasir kerikil ditambah berat sepeda menimpa tubuhnya. Kepalanya pening
dan semua pikiran tentang sawah, istri, selingkuhan dan utang-utang pun ambyar.
Gelap di sekitarnya membuat ia pingsan.
"Tetap
diambil?"
"Nggak
usah bacot. Bawa saja!"
Dua suara
tadi tak dia hiraukan karena pikirannya kosong. Dia terbangun dengan tubuh
penuh peluh. Sekitarnya mulai menggelap saat matahari sudah memudar. Berada di
bawah pohon rindang membuat dirinya begitu menikmati tidur, ditambah suara
jangkrik dan aliran sungai yang mengalir tak jauh dari situ. Namun kepalanya
masih sakit. Ia ingat bahwa dia harusnya tak beristirahat di situ. Dia tadi
masih naik sepeda. Kereteknya tadi masih panjang dan menyala kini sudah pendek,
mati dan berasa aneh di bibirnya. Dia meludahkan sambil mencari sepeda tuanya.
Menjadi korban begal di bulan puasa sungguh bukan nasib yang baik. Saat adzan
mulai berkumandang kemudian dia baru ingat bahwa dirinya masih selamat dan
langsung berucap doa.
“Allahuma lakasumtu wa bika amantu wa'ala
rizkika aftartu birahmatika ya arhamarrahimin ....”
*
Dua pemuda
tadi segera melarikan sepeda hasil begal ke kecamatan sebelah. Mereka tidak
benar-benar berlari karena sepeda itu mereka tumpangi bersama. Si pengayuh
terlihat waswas sementara si pembonceng terlihat lesu namun bukan karena puasa.
Dia tidak terima bahwa rencana awal mereka adalah mencuri sepeda motor siapa pun
yang lewat di tempat mereka bersembunyi tadi berubah. Karena tak ada yang
lewat, mereka memutuskan merampok apapun yang lewat walau itu berupa cikar atau
sepeda roda tiga. Kini hanya sepeda tua reyot yang jerujinya berbunyi setiap digenjot.
Jarak antara TKP dan tempat mereka menjual sepeda itu di kecamatan sebelah tak
sejauh tempat pipis dan neraka. Percayalah... ini ungkapan yang biasa kau
dengar dari corong menggelegar tiap hari Jumat.
Perjalanan
itu memakan waktu dua jam. Tujuan mereka hanya sebuah pasar kecamatan karena
tentu saja mereka tak bisa menjual sepeda itu di jarak 20 km dari TKP karena
pasti tentu ada orang yang mengenali sepeda itu punya siapa lalu mengapa
sekarang mereka yang bawa. Sedang di pasar pun, yang mau melayani mereka hanya
tempat penggilingan kelapa.
"Kami
baru saja ditipu. Ini harta kami. Kami mau pulang. Tak ada ongkos buat buka
puasa dan naik bus. Seikhlasnya bapak saja."
Yang disebut
bapak diam saja. Melihat tampang pemuda-pemuda ini mereka tak punya bakat
menipu atau mengancam.
"Sudah
ke kantor polisi?" tanya bapak itu.
"Sudah.
Mereka hanya memberi berkas. Nanti mungkin akan kami serahkan ke kantor polisi
kecamatan kami."
"Mana
suratnya?"
Yang menjawab
adalah pemuda pengayuh sepeda. Dia menengok ke pemuda satunya yg membalasnya
dengan tatapan kosong.
"Mana?"
tanya pemuda itu.
"Apa?"
"Suratnya."
"Surat
apa?"
"Pasti
kau hilangkan lagi. Sudah uang kau hilangkan. Semua kau hilangkan pula! Kenapa
kebodohanmu tak kau hilangkan juga!" Pemuda itu lantas berpaling ke bapak
yang sekiranya akan memberi uang atas sepeda hasil rampokan ini. "Teman
saya memang begitu. Mohon maafkan kami. Sekiranya bapak tak mau membantu
membeli harta kami ini tak apa. Semoga ada yang membalas kebaikan bapak di
bulan yang suci ini." Pemuda tadi segera bergegas tapi bapak tadi
menghentikan. Ucapan pemuda tadi benar. Kemarin malam waktu tarawih, penceramah
mengatakan bahwa sudah melakukan kebaikan apa saja di bulan suci ini? Bapak
tadi yakin ini adalah maksudnya. Dia mengeluarkan duit menyerahkannya pada
pemuda itu selembar 50 ribuan.
"Ambil
saja. Sepedanya kau bawa."
"Tapi
pak ...."
"Sudahlah.
Tak usah kau pikirkan ...."
"Tapi
pak ...."
"Kamu
benar. Kebaikan harus dilakukan di bulan suci ini. Apalagi—“
"Ini
kurang pak."
Bapak itu
mendelik. Diambilnya selembar uang lagi. 20 ribuan. "Sudah pergi sana.
Sudah cukup buat ongkos dan makan! Jangan mubazirkan uang itu."
Pemuda tadi
tak mengucapkan terima kasih langsung menuntun sepedanya pergi. Tak jauh dari
pasar temannya yang dikorbankan mengeluh capek.
"Harusnya
aku yang capek!"
"Kita
balik sajalah. Mau buka ini."
"Naik
sepeda ini? Mau digebukin warga kamu?"
"Lha
terus?"
Pemuda tadi
menggelatakkan sepeda tua itu begitu saja di pinggir jalan mumpung tak ada yang
melihat dan menyeberang jalan, menunggu sampai ada angkutan membawanya kembali
ke desa. Di angkutan temannya kembali mengeluh.
"Makanya
Mat. Kalau ngambil sekalian motor bukan sepeda."
Beberapa
penumpang melirik ke arah pemuda itu.
"Cocotmu
Pu! Nggak usah dibahas di sini!"
Mereka pun
diam. Bahkan saat turun pun diam. Tak memberikan uang kepada supir angkutan.
*
Gelas yang
biasa digunakan menyajikan es teh telah menjadi gelas kopi untuk mereka berdua.
Itu pun sudah tandas melebihinya setengahnya. Warung kopi ramai menceritakan
tentang kasus begal yang menimpa pak Suro. Mereka kemudian mulai menyalahkan
satu sama lain atas kemalangan warga desanya. Saling tuduh menuduh kemudian
jauh lebih tinggi kedudukannya. Pertama warga, RT, RW, Kades, lurah, camat,
walikota, gubernur, menteri, presiden, filsuf sampai yang paling atas sendiri.
"Ini
bulan suci. Kalau maling-maling itu sudah sampai ke sini, berarti kurban kita
pas bersih desa itu nggak sampai sama mbah leluhur!"
"Lha
katanya ibu-ibu PKK sudah ziarah ke makam wali. Pasti ada yang pulang bawa
tanah makam wali, makanya apes."
“Atau nggak
ziarahnya pas lagi datang bulan ....”
Spekulasi
semerbak ditambahi singkong goreng. Warung semakin ramai saat para pria baru
pulang tarawih. Mereka membuat grup sendiri-sendiri. Ada yang membicarakan
tentang begal, tentang kotbah yang barusan mereka ikuti sampai kaki kesemutan
dan ada yang memulai memutar gelasnya. Sementara suara tadarus terdengar lamat
tertiup angin.
Dua pemuda,
Mat dan Pu tetap diam. Hanya mereka yang duduk berdua dengan kopi sementara bau
minyak sisa singkong goreng sudah diganti bau spritus campur soda. Pu berbisik.
"Lalu
bagaimana? Kita pakai duit dulu yang tadi?"
"Jangan!
Duit hasil amal jangan pernah kita gunakan dulu."
"Lalu
apa? Mau begal lagi? Kan sudah kubilang lebih baik nyolong motor."
"Cocotmu!
Nggak usah berisik! Kamu mau mereka tahu kita pelakunya?!"
Pu beringsut
tapi pengaruh spritus sudah merasuk ke setiap insan di warung ini.
"Kita
harus gunakan uang tadi untuk mendapatkan duit yang lebih besar."
"Caranya?"
Mereka
terdiam. Pu kemudian melontarkan ide.
"Kita
buat judi saja. Orang mabuk biasanya goblok. Kita bisa tipu!"
"Aku
nggak mau pake duit haram! Jangan judi!"
"Beli
nomer?"
"Nggak!"
"Taruhan
bola?"
"Sudah
selesai!"
"Trus?
Ya sudahlah kita pakai duit ini."
"Nggak
selama kita masih bisa mikir duit ini bisa jadi duit lain yang lebih
besar!"
"Ikut
MLM?"
Pemuda Mat
tetap tidak menyetujui ide pemuda Pu. Maka saat diam dan ada petasan meledak
lima kaki dari mereka, mereka misuh-misuh disertai suara tawa para bocah. Tentu
saja hanya mereka yang misuh karena yang lain sudah memasuki alam kata2.
Terlalu berisik warung ini sampai menenggelamkan suara Eny Sagita yang keluar
dari speaker sember di ujung ruangan.
Mat tersenyum
lebar. Seakan baru saja ada yang membisikkan ide luar biasa untuknya. Dia menarik
Pu keluar dari warung yang akan tutup dan buyar saat suara imsak bergema dan
sebelum para jamaah alkoholiyah ini
bergelimpangan dengan muntahannya sendiri.
*
Mat
menyerahkan 70 ribu tadi ke pria yang menatap layar hapenya. Setelah melirik uang
yang diberikan, pemuda itu berkata sambil mengetik.
"Dapat
yang besar dua dan yang kecil tiga."
Namun yang
dimaksud bukan mau Mat.
"Aku
maunya mercon! Petasan! Bukan kembang api! Syuuut dor ... ini!" Gertak Mat.
"Semua
udah disita polisi."
"Tapi
anak-anak tadi ada yang main!"
"Oh
itu ... beli di kecamatan sebelah," jawab penjual lempeng.
"Mat ...
buat apa toh kok beli petasan. Udah ... nggak usah. Kita nggak butuh. Mending
uangnya—“
"Ya
udah. Aku maunya yang besar tiga yang kecil empat."
"Nggak
bisa," sahut penjual tetap mengetik.
"Ya
udah." Mat mengambil barang yang dia inginkan sementara penjual seperti
tak mau tahu selain layar di hapenya.
"Ada
korek Pu?"
"Aku
udah lama gak ngerokok."
"Ya udah
ambil lagi aja."
"Duitnya?"
"Ambil
goblok! Bukan beli."
Maka Pu paham
maksudnya. Dia berjalan ke pos kamling di dekat situ. Tata letak desa ini
sungguh berdekatan seperti tempat pipis dan neraka. Berhubung ada pemuda-pemuda
lain yang merokok di situ, Pu berlagak di depan mereka.
"Pinjem
koreknya."
Mereka
menyerahkannya pada Pu dan dia tak akan pernah mengembalikannya lagi. Pemilik
korek hanya bisa melihat koreknya menjauh.
*
Mat bergegas
diikuti Pu ke pinggir desa mereka. Beruntung jaraknya pinggir desa di mana
jalan beraspal yang sering dilewati kendaraan besar itu dekat dengan tempat
mereka tadi membeli kembang api sedekat tempat pip—sudahlah. Tujuan Mat adalah
ke pom bensin yang hampir tutup malam ini. Sementara Pu dari tadi belum paham
tujuan Mat.
"Mat ...
kenapa harus semua uangnya kamu belikan kembang api? Kamu bukannya dapat uang
tapi bakar uang!"
"Sama
kayak kamu ngerokok!"
"Tapi
semua rokokku kan minta, nggak pernah beli sendiri ... kalau kamu mau main
kembang api, buat apa kita sampai harus ngerampok sepeda?"
"Diam
kamu! Uang dari kembang api ini jauh lebih besar! Dan semoga tak terbakar malam
ini ...."
Mat dan Pu
sudah berada di pom bensin di mana satu petugasnya sedang terlihat menggembok
kotak kayu di dekatnya. Karena lampu sudah mati dan jarang ada kendaraan lewat
malam hari, pom bensin itu dinyatakan tutup. Petugas tadi melihat Mat
mengacungkan kembang api dan korek.
"Serahkan
uang yang ada di situ atau pom bensin ini bakal meledak!" ancam Mat. Pu
sadar dan melakukan hal serupa tanpa koreka api.
Petugas tadi
cuma berkata, "Pom bensin sudah tutup."
“Serahkan
duitnya atau ...”
“Atau apa?
Kalian mau kusemprot pakai bensin? Sudahlah nggak usah ancam-ancam mau
ngerampok segala. Pergi daripada kulaporkan ke polisi.”
Melihat
petugas pom bensin malah balik menantangnya, Mat segera menyalakan korek
apinya. Geretan itu macet dan api tidak kunjung menyala.
“Bodoh kamu!
Mau bakar kita di sini! Sekali lagi kamu nyalain korek, aku siram bensin!” seru
petugas itu tak takut. Dia mengambil selang pompa bensin dan mengacungkan
layaknya pistol.
“Kami nggak
akan pergi sampai dapat uang!”
“Dengan bakar
pom bensin ini?! Bah! Kamu mau jadi buronan? Tahu ini pom bensin milik siapa?!
Kamu tahu yang jaga duit bensin ini siapa?! Ini milik negara! Sudahlah ...
jangan goblok jadi orang. Pulang saja. Makanya kalau buka puasa jangan banyak
makan gula! Susah mikir kayak kalian.”
“Kami minta
uang demi tujuan mulia!” kata Pu. “Jadi kalau kamu mau sekalian dapat pahala,
mending serahin uangnya!”
“Di mana-mana
... namanya uang hasil curian itu haram!”
“Hahaha!
Kelihatan kan yang goblok siapa!” tawa Mat. “Uang itu tidak akan haram kalau
yang kita lakukan berikutnya adalah tindakan terpuji. Jadi kamu paham sifat
amal tidak? Kalau kamu membantu kami yang berbuat baik walau dengan cara
seperti ini, niscaya kamu akan mendapat pahala sampai kelak kamu mati.”
“Semprul!
Ajaran siapa itu!” Petugas pom mulai geram. Dia sudah melewatkan waktu
tarawihnya untuk menjaga pom dan kini dia ingin segera pulang segera
beristirahat agar bisa makan sahur bersama keluarganya. Dua badut ini harus
segera dia usir. Lampu pom sudah mati walau generator pompanya belum dia
matikan. Uang di kasir dia bawa di kantong yang berada di depan perutnya.
“Pulang atau aku laporkan kalian ke polisi!”
“Kami tidak
takut polisi! Kami hanya takut dengan yang di atas!”
Mat dari tadi
sudah melihat tas compang-camping di
perut petugas pom itu. Pu sedang kosong hanya mengancam dengan kembang api
tanpa korek. Lampu pom bensin sudah mati, jadi bensin tidak akan keluar dari
selang itu.
“Pu! Ambil
duitnya di tas itu!” suruh Mat. Pu melihat tas itu segera dipindah posisinya
oleh petugas. Pu tak ingin dianggap goblok bertindak cekatan. Terjadi tarik
menarik antara dirinya dan petugas sebelum bensin keluar dari selang itu dan
mengenai mata Pu.
“Arrgghh!”
jerit Pu memilukan.
Matanya
pedih. Mat tak tega melihat temannya kesakitan maka dia berbuat nekat. Dia
harus merampas tas itu. Dia masih mencoba menyalakan koreknya. Petugas melihat
api menyala dan Mat sudah menyalakan sumbu kembang api. Yang ada di pikiran
petugas itu adalah mematikan nyala api di korek. Salah satunya adalah dengan
air. Refleksnya cepat tapi salah. Dia keliru mengira bahwa dia tidak sedang
memegang selang air tapi bensin. Nyala api semakin berkobar. Awalnya mengenai
Mat, lalu menyambar cepat Pu sebelum kembang api yang keluar menuju mata petugas
pom bensin dan bensin yang keluar semakin deras. Ledakan besar menghentikan
seluruh kegiatan malam itu. Tidak ada awan berbentuk jamur yang terbentuk dari
ledakan itu tapi setidaknya tiga nyawa terbuang sia-sia di bulan puasa.
*
Beberapa hari sebelumnya ....
“Sungguh ...
kata ulama tadi benar adanya.”
“Apa Mat?”
“Kamu nggak
mendengarkan? Aduh Pu ... kamu ini calon-calon masuk neraka!”
“Nggak mau
Mat! Aku nggak mau masuk neraka. Aku sudah miskin Mat. Aku mau kaya setidaknya
bisa mewah kelak di akhirat.”
“Maka dari
itu kita harus mengamalkan kata ulama tadi.”
“Harus itu
Mat. Ini bulan suci Mat. Setidaknya kalau berbuat baik kita bisa—“
“Sshh ... mau
berbuat baik tanpa sedekah itu percuma.”
“Kok bisa
Mat?”
“Kita sudah
berbuat baik. Tapi kenapa kita susah sampai sekarang? Kita kurang sedekah!”
“Mau sedekah
apalagi? Kita nggak punya apa-apa.”
Mat meringis.
“Kamu nggak
punya apa-apa. Tapi aku punya ini ....” Dia mengetuk jari telunjuk ke arah
kepala.
“Kalau kamu
nggak punya kepala, kamu mati Mat.”
“Jadi orang kalau
sudah miskin ya jangan bodohlah. Sekarang kamu mau ikut aku sedekah nggak?”
“Caranya? Kan
kita miskin.”
Mat
menurunkan suaranya. “Kita ambil milik orang lain.”
“Mencuri
Mat?”
“Hush! Nggak!
Kita ambil paksa. Itu beda dengan mencuri. Orang yang kehilangan karena dicuri
jauh tidak ikhlas ketika kehilangan karena diambil paksa. Contohnya semisal
pacar. Jauh lebih berdosa menikung pacar teman daripada kita ambil paksa pacar
orang lalu kita setubuhi dan nikahi. Prinsipnya sama dengan itu. Kita ambil
barang orang sepengetahuan orangnya, lalu dijual barangnya! Uangnya kita
kumpulkan baru kita sedekahkan. Dengan uang yang kita sedekahkan sudah pasti
amal kita akan dicatat!”
“Betul juga
Mat. Kalau kita ambil barang yang besar saja. Jualnya juga hasilnya besar. Amal
juga besar.”
“Tentu! Walau
miskin jangan lupa kita punya akal untuk bersedekah. Mumpung ini bulan suci.”
“Kita mulai
kapan Mat?”
“Besok saja.”
“Oke.”
Mereka
kemudian larut dalam angan sembari bertukar ide apa yang mau diambil. Warung
tempat mereka itu sudah beraroma alkohol yang penuh dengan orang-orang yang
berpeci dan bersarung. Jamaah alkoholiyah sudah berkumpul demi mendekatkan diri
kepada sang pembuat alkohol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar