Mari lupakan tentang dilarang mengucapkan Selamat Natal di Indonesia. Cerpen saya kali ini jauh lebih syahdu daripada kisah di negara ini. Anda sekalian boleh tidak mengucapkan Natal pada yang merayakannya. Menganggapnya kafir, mengharamkannya atau apalah, tapi karakter saya di sini lebih unggul dari kalian yang tidak mau mengucapkan Selamat Natal karena dia sanggup membakar Natal lebih daripada kalian yang percaya dan hanya berkoar bahwa Natal itu haram.
Silakan membaca cerpen saya ini. Dan cari tahu untuk apa dongeng satir ini diberi judul "Membakar Natal".
Anda bisa mengunduhnya di sini.
Selanjutnya ... silakan bersenang-senang. Terlebih saya mau mengucapkan selamat natal bagi yang merayakan dan membaca blog/cerpen ini.
Merry Christmas, You Filthy Animal ....
NB: Anda bisa berkomentar tentang link download yang rusak, cerpen yang tidak bagus, buku Jacob yang sudah terbit atau tentang apa saja di Twitter saya atau di kolom komentar.
NB: bagikan kepada siapa pun yang percaya bahwa tulisan yang menarik itu layak dibaca. Atau dia kesepian dan butuh hiburan. Atau dia juga membenci Natal. Juga kesepian
(Cerpen Membakar Natal akan di posting pada tanggal 25 Desember 2014 di blog ini.)
Oly
bosan menjadi bocah biasa saja. Desember ini dia ingin menjadi anak yang paling
nakal yang pernah ada di manapun. Dia tidak ingin Santa Claus memberinya hadiah
sebagai ‘bocah paling diam dan
membanggakan orangtuanya’ lagi. Dia ingin dikurung di dalam karung yang
dibawa oleh Piet Hitam. Dia ingat temannya dulu pernah menangis sambil menjerit
begitu Piet Hitam menggendongnya dan hendak memasukkannya ke dalam karung. Toh
pada akhirnya sang Santa gendut itu datang untuk menolong sambil mendengar
perjanjian bocah nakal itu agar menjadi baik selama tahun ke depan.
“Semuanya
itu bohong. Aku tahu pemeran Santa Claus dan Piet Hitam itu adalah mahasiswa.
Aku pernah melihat mereka mendorong troli di bagian minuman keras. Pula mereka
tak mungkin mengawasi kita selama setahun ini untuk berbuat baik atau jahat!”
“Dan
lagi,” tambahnya, “Natal itu membosankan.”
“Kau
tetap tak bisa begitu Oly. Mereka tetap saja utusan Tuhan yang baik hati.
Mereka memberi hadiah pada anak baik. Kau tahu si George? Dia tidak diberi
hadiah karena perbuatan jahat dan baiknya seimbang,” ujar Malene sambil
merapikan poni dan pita rambutnya.
“Itu
benar. Aku tahu mereka tak akan melihat selama tahun. Berdasarkan kalkulasi, di
kota ini hanya ada beberapa titik yang ada CCTV nya. Di sekolah-sekolah ada
beberapa tempat juga. Dan mereka tak akan menghabiskan waktu memandangi rekaman
apa yang kita perbuat setiap hari,” kata Ville.
“Nah
apa yang kubilang. Ini semua omong kosong. Mereka tak mengawasi kita sepanjang
tahun. Mereka tak punya satelit kasat mata yang terbang di atas sekarang dan
Santa gendut itu tak sedang mengamati kita di kutub utara.” Oly mengangkat jari
tengahnya ke angkasa.
Ville
mencoba menurunkan tangan Oly. “Tapi mereka punya mata-mata! Astaga Oly ... kau
ini kenapa?”
“Aku
ingin membakar Natal. Aku mau menjadi nakal dengan sadar.”
“Kau
gila!”
“Aku
ingin kalian ikut aku.”
“Kau
jangan pernah merusak Natal yang indah, tuan Oliver!” Malene memandanginya
dengan tatapan jijik. “Aku tetap mau merasakan damai Natal.” Dia lalu pergi.
“Kau?”
Oly menatap Ville.
“Maaf
... aku tak ingin merusak suasana Natal ini. Aku sudah meminta orangtuaku agar
membelikan video game terbaru.”
Begitu
kedua temannya menjauh, Oly mengangkat jari tengahnya ke arah kedua temannya
sambil berteriak, “Pengecut!”
Dia
sendirian sekarang dan siasatnya untuk membakar Natal semakin gencar.
Oh my God, it's here, this awful
time of year
How I hate the snow is falling
Wealthy neighbors bragging about
the gifts they're getting
And then, I had a revelation!
This is my chance to sew their lips
clean shut with fear
***
“Jadi
Oliver. Ini Desember dan kau belum mengatakan apa yang kau minta tahun ini
kepada Santa?” kata ibunya sewaktu mereka makan malam. Ayahnya tersenyum sambil
membalik koran sore. Dia menyembunyikan berita tentang penembakan gelandangan
yang terjadi tadi malam di mana pelakunya belum ketahuan.
“Aku
ingin jadi anak nakal.”
Ayah
dan Ibunya menatapnya heran. “Kau bercanda.”
“Tidak.”
Oly menyantap supnya sambil memandangi kedua orangtuanya. “Aku ingin jadi anak
nakal Desember ini dan aku tidak ingin hadiah dari Santa.”
Ayahnya
meletakkan korannya. “Kau kenapa? Apa ada masalah di sekolah?”
“Tidak.
Temanku membosankan dan mereka selalu mengatakan akan membeli kado ini,
memberikan kado itu, berharap kado yang lain. Aku tidak ingin seperti mereka.”
“Ayolah
sayang. Pasti ada sesuatu. Apa yang terjadi di sekolah?” Ibunya khawatir dengan
sikap Oly. “Apa kau sakit?”
“Aku
sehat dan aku tidak minta apa-apa tahun ini pada ayah dan ibu juga pada Santa.
Aku mau jadi nakal.”
“Well
... kalau begitu kamu ingin menjadi anak nakal, maka mulai sekarang kau kami
hukum.”
Oly
beranjak dari meja makan. “Aku anak nakal dan anak nakal tidak mematuhi
perintah. Selamat malam.” Dia berlalu saja bahkan saat ibunya memanggilnya.
“Ada
apa dengannya?” Ibunya sungguh cemas tapi ayahnya melanjutkan membaca koran.
“Mungkin
sedang mencoba menjadi dewasa. Biarkan saja. Besok pasti dia akan berubah.”
Namun
tidak. Oly tetap ingin menjadi anak nakal sewaktu dia sarapan dengan
orangtuanya.
“Ini
tidak lucu Oliver. Kau akan dihukum seusai pulang sekolah!” Ibunya memarahi
dengan nada tinggi dan ayahnya membaca koran sambil menyesap kopi. Selama
perjalanannya menuju ke sekolah ayahnya mengatakan bahwa dia ingin makan ikan
nanti malam dan bertanya pada Oly dia ingin makan apa malam itu. Oly tidak
menjawab karena dia sudah kenyang setelah sarapan.
“Dengarkan
... jangan kau marahi ibumu. Dia sayang dan kau harusnya bersikap sopan.”
“Kalau
ibu mau bersikap sopan, dia harusnya tahu aku tidak mau dihukum.”
“Akan
kusita video gamemu selama liburan. Sekarang sekolah.” Oly keluar dari mobil
dan meninggalkan pelajaran pertama untuk pergi ke perpustakaan. Penjaga
perpustakaan heran melihat anak itu berada di perpustakaan.
“Apa
yang kau lakukan di sini?”
“Bisakah
kau diam karena aku sedang mencari bahan untuk tugas musim dingin?” Penjaga
perpustakaan itu mendelik.
“Sebaiknya
kau jaga mulutmu, anak muda.” Oly hanya menatapnya lalu menjauh dari penjaga
tua itu. Dia menuju ke bagian geografi untuk mencari peta geografi kotanya. Dia
memandangi peta itu melingkarinya dengan bolpoin tempat-tempat yang sesuai
dengan rencana yang ia susun tadi malam dan memasukkan peta itu ke dalam tasnya
dan menuju ke kelas saat pelajaran kedua dimulai. Sebelumnya dia menghampiri
penjaga perpustakaan.
“Apa
Anda tahu tempat penjual pohon Natal?” tanya Oly.
“Tentu.
Kau bisa membeli pohon Natal di pusat perbelanjaan.”
“Yang
asli.”
“Kau
mau pohon cemara?” Penjaga perpustakaan itu mengingat sesuatu. “Sepertinya
penduduk kota ini lebih memilih untuk menanam pohon mereka sendiri. Kalaupun
membeli biasanya mereka beli di tempat si tua Jack.”
“Di
mana alamatnya.” Penjaga perpustakaan itu memberinya alamat dan Oly
meninggalkannya dengan senyuman. Di koridor, beberapa orang tampak memasang
pernak-pernik Natal sambil sesekali tersenyum ke Oly yang membalasnya dengan
senyuman dingin. Di kelas kedua Ville menghampirinya.
“Bung
kau ke mana saja? Tumben kau bolos.”
“Kau
tahu di mana sekolah memasang hiasan Natal? Tempat-tempatnya?”
“Hmm
... mungkin di sekitar lorong, ruang guru, aula dan kantin.”
Sebelum
bertanya, Oly memotongnya. “Kau tahu tempat membeli hiasan Natal?”
“Yeah.
Orangtuaku biasa membeli pada bulan Januari tahun depan sesudah Natal. Karena
ada diskon. Jadi hiasan Natal yang kupakai adalah kubeli awal tahun sisa tahun
lalu.”
“Aku
bertanya tempat membelinya, bodoh.”
“Tidak
ada toko khusus. Desember ini mereka biasa menjualnya di manapun.” Oly
mengangguk dan mengeluarkan buku catatan dan membuat sedikit coretan. “Kau mau
membeli apa?”
“Kebahagiaan.”
Oly
meninggalkan Ville dengan tatapan penuh tanya. Mereka tak berbicara sampai bel
terakhir berbunyi. Oly pulang berjalan kaki dengan peta di tangannya. Dia
menuju ke tempat keramaian di pusat kota dan untuk pulang dia harus naik bus
umum satu kali. Dia melihat orang-orang masuk keluar toko dan membawa
belanjaan. Oly menandai toko-toko tertentu. Tertentu di sini termasuk spesifik
... ada ornamen Natal di dalam toko atau di luar toko. Semakin toko itu meriah
hiasannya, Oly akan membuat catatan besar di bukunya lalu pergi. Sebelum pulang
ke rumah, dia mampir ke toko perkakas bangunan dan membeli beberapa barang.
Seorang pemuda yang bekerja paruh waktu yang menjaga kasir heran melihat
belanjaan Oly.
“Mau
pesta barbeque eh?” Pemuda itu tersenyum sambil memindai kode barang. Oly
mendekatkan tubuhnya ke pemuda itu.
“Kau
tahu di mana membeli petasan? Besar?”
Pemuda
itu tersenyum. “Kau mau memeriahkan Natal ini bung?”
“Oh
tentu. Sangat meriah.”
Oly
tersenyum lebar sambil mencatat petunjuk yang diberikan oleh pemuda itu. Oly
memberinya uang tip atas informasinya yang berharga ini. Sebelum naik bus
menuju rumahnya, Oly berjalan empat blok lalu belok ke kiri menuju ke sebuah
jalan sempit yang tak terlalu gelap dan karena masih terang, dirinya tak takut
akan adanya penjahat yang mencelakai dirinya. Dirinya berada di deretan toko
kelontong kecil yang sepi pembeli dan Oly merasa lega, tidak ada hiasan Natal
di toko-toko ini. Setelah melewati toko kelima, dirinya memasuki toko di
seberang jalan. Sebuah toko tanpa pelat apapun dan ketika dibuka pintunya dia
disambut oleh gonggongan anjing. Seorang pria dengan cukuran berewok tak rapi
berada dibalik konter sambil mengelus anjing yang menggonggong itu.
“Apa
yang kau inginkan?”
“Kembang
api dan petasan.”
“Kau
bisa membelinya secara legal di toko mainan.”
“Jadi
di sini bukan toko mainan? Dan di sini ilegal? Wah aku bisa melaporkanmu ke
kantor polisi dan kukira para informanku harus tahu siapa aku sebenarnya.”
Mendengar ancaman dari Oly, pria itu hanya menaikkan alis.
“Apa
yang kau inginkan?”
“Sesuatu
yang besar dan meriah.”
“Kau
bisa membakar tubuhmu sendiri.”
“Bagaimana
kalau membakar tubuh orang lain.”
“Dengarkan
aku, bocah. Aku tak sudi menjual barangku kepada anak kecil yang menggunakannya
untuk bermain-main. Ini barang yang hebat. Kau tahu apa akibatnya?” Pria itu
mengangkat tangannya dan melebarkannya sambil merengut.
“Ya.
Tak seperti bom atom tapi aku suka itu. Kau tahu Natal sekarang ini kurang
meriah. Aku ingin membuatnya terbakar.”
Pria
itu memandangi Oly tanpa berkedip dan menjatuhkan anjingnya yang berlari ke
pintu terdekat. Oly tak gentar pada siapa pun saat ini.
“Bawa
uangmu?”
Oly
mengeluarkan dua lembar kertas yang kucel. Pria itu mengambilnya dan berlalu ke
pintu sambil berteriak agar anjingnya menyingkir. Tak lama, pria itu kembali
dengan membawa sebuah bungkusan. Dia belum menyerahkannya pada Oly.
“Kau
tak akan bicara pada siapa pun lagi di kota ini. Aku bosan dengan pelanggan
baru.”
“Oh
kau baru saja mendapatkan pelanggan setiamu.” Oly menyambar bungkusannya dan
mengguncangnya. Pria itu berteriak, “Hentikan!”
“Hanya
segini, bung? Kukira aku bisa mendapatkan lebih.” Oly meletakkan bungkusan itu
dan mengeluarkan satu lembar uang lagi. “Beri aku bonus.”
Pria
itu meraup uang di depannya dan menghilang lagi lalu muncul membawa dua bungkus
lain yang sama. Oly tersenyum riang.
“Kau
orang yang baik. Semoga Santa akan membalasmu. Selamat ... err ....”
“Pergilah.”
Oly
melambaikan tangannya dan pergi. Kini tasnya penuh sesak. Untungnya tadi dia
sudah menaruh semua buku pelajarannya hari ini ke dalam loker dan kini dia tak
langsung pulang karena menuju ke sekolahnya lagi. Sekolah pada sore hari tak
terlalu menyenangkan. Hanya ada beberapa guru yang tinggal sebelum sekolah
benar-benar tutup pada pukul empat. Tapi karena ini mau mendekati liburan, maka
guru-guru memilih pulang cepat. Ini masih pukul setengah empat dan masih ada
waktu bagi Oly untuk bergerak cepat. Dia menuju ke lorong. Sekolahnya ada dua
lorong dan dia menuju ke lorong sewaktu keluar dari perpustakaan. Perpustakaan
sudah tutup sehingga dia bisa cepat melakukan apa yang harus dilakukan. Dia
buka tas lalu menatap malaikat-malaikat kecil yang terbang.
“Jangan
salahkan aku.”
Begitu
menyelesaikan tugasnya, Oly buru-buru menuju ke tempat-tempat yang mempunyai
ornamen Natal di sekolahnya berkat petunjuk Ville. Dia bekerja cepat dan tanpa
sepengetahuan penjaga. Mendekati pukul empat di mana sekolah benar-benar
ditutup, dia sudah berada di aula dan memandangi gua yang begitu meriah.
“Sayang
sekali.”
Oly
pergi melalui pintu darurat sekolah, memanjat pagar, berjalan dua ratus meter
lalu naik bus untuk pulang. Ibunya sedang berada di dapur dan menelepon
saudaranya ketika dia pulang sehingga Oly tak perlu ditanyai kenapa dia pulang
terlambat. Begitu dia masuk di kamar dan ingin mengeluarkan barang-barang yang
sudah dibeli, ibunya berteriak dari bawah.
“Aku
mau keluar untuk beli bahan makanan. Kau ikut atau titip sesuatu?”
“Tidak.”
Suara
tapak kaki ibunya menjauh diiringi suara menutup pintu dan mobil meraung. Oly
membawa tasnya turun ke garasi. Orangtuanya mungkin akan pulang sebelum jam
tujuh, maka di garasi ini dia akan mempersiapkan segalanya untuk hal yang
menyenangkan. Dia taruh semua barang di meja ujung garasi dan meletakkan peta
yang diambil dari perpustakaan.
“Aku
perlu sesuatu yang besar.” Dia tahu ayahnya menaruh semua perkakas di sebuah
kotak kayu di garasi. Tapi sebelum membuka kotak kayu itu matanya menangkap
benda yang sekiranya dibutuhkannya untuk Desember ini. Awalnya Oly agak
kesulitan untuk mengangkat kapak yang terselip di antara alat-alat di garasi.
Begitu dia memegang dan merasakan berat kapak itu di tangannya, semua terasa
lebih indah.
“Aku
adalah Arthur yang menemukan Excalibur.”
Maka
dia mulai bekerja.
Oh, make fun of me, will you?!
Well I'll show you what true misery
feels like!
You see, as my idol once said,
Everything burns!
Hey everyone! Look outside your
window! I have a surprise for you!
***
Oly
sudah membereskan semua barangnya di garasi ketika orangtuanya menyuruhnya
keluar dari kamar untuk makan malam. Mereka makan dengan tenang dan
merencanakan sebuah liburan keluarga pada malam Natal. Ayah dan ibunya berdebat
tentang pesta apa yang harusnya mereka buat dan siapa saja yang mereka undang.
Perdebatan itu sangat seru sampai Oly menguap saat dia menyendok asparagus dari
piring lalu pamit untuk tidur lebih awal. Orangtuanya masih debat saat sarapan
sampai Oly sadar di sekolah keesokan harinya terdapat berita heboh. Ville
menunggunya di depan pintu sekolah dan buru-buru menceritakan apa yang dia
lihat.
“Kacau
bung. Kacau!” Ville sudah mengulang kata kacau berkali-kali, menggiring Oly
sampai ke lorong di mana dia melihat apa yang dia lakukan kemarin. Ornamen
Natal berupa pohon cemara di lorong dia gunduli dan batang-batangnya dia buat
menyerupai wajah jelek yang aneh di samping batang pohon yang gundul.
“Kau
belum lihat gua suci di aula bung.” Ville langsung menceritakan bahwa ada mimpi
buruk. Kalau pelakunya siswa sekolah, maka seluruh guru akan memberikan PR
tambahan untuk semua murid tanpa ada keringanan. “Itu pun kalau pelakunya
mengaku. Tapi ini kacau dan parah!”
Oly
hanya menyunggingkan senyum melihat beberapa murid masih mengerumuni gua suci
yang dia hancurkan. Dia mematahkan patung-patung di situ dan patung malaikat
yang dia ajak bicara kemarin, wajahnya kini gelap seperti Piet Hitam. Oly
sebenarnya hendak membakar, gua itu tapi tentu akan menambah masalah. Cukup
dihancurkan secara kasar dengan sentuhan artistik berupa coretan pilox dan cat
yang ngawur.
“Ini
pasti ulah geng tertentu. Dan aku harap mereka kapok bila tertangkap.”
Oly
menyeringai. Bahkan selama pelajaran terakhir sebelum liburan mereka di sekolah
guru sudah memberi keringanan bila ada anak yang tahu siapa pelakunya dan tidak
akan memberikan tugas yang banyak. Karena semua murid diam, guru tidak bisa
berbuat banyak dan mengatakan bahwa sudah melaporkan masalah ini kepada
kepolisian. Sebelum bel terakhir liburan berbunyi, suara kepala sekolah
terdengar seantero sekolah lewat pengeras suara.
“Saya
paham bahwa kejadian tadi pagi sungguh membuat sekolah ini kacau. Damai Natal
dan sukacita selama sekolah ini berdiri, baru kali ini di rusak oleh
tangan-tangan jahil. Maka saya selaku kepala sekolah, menghimbau kepada
anak-anakku yang kukasihi bila kalian tahu perbuatan siapa ini, laporkan kepada
saya. Tapi saya tahu itu akan menambah beban bagi kalian semua dan kepolisian
kota sudah menangani kasus ini tapi saya sudah mengatakan tidak boleh
melibatkan semua murid saya dan saya menganggap bahwa ini adalah kejadian dari
orang luar. Lalu saya pikir untuk memaafkan dia karena perbuatannya ini. Maka
dari itu ... tahun ini terpaksa sekolah kita tidak bisa ikut memeriahkan Natal
seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi biarkan damai Natal menyadarkan bahwa kita
ini adalah orang-orang yang cinta damai. Selamat Natal dan tahun baru. Semoga
Tuhan memberkati kita semua. Dan ... selamat liburan.” Begitu pidato usai dan
bel berdering, anak-anak sontak berteriak kegirangan karena itu artinya mereka
sudah liburan.
Bagi
Oly ... ini adalah awal segalanya.
***
Ville
mengajaknya untuk mampir ke rumah untuk bermain game, tapi Oly tidak
menggubris. Dia pulang cepat hari itu. Mengganti pakaian dan membawa tas berisi
perlengkapan perangnya serta mengeluarkan sepedanya dari garasi. Ibunya
mengatakan bahwa dia tidak boleh pulang terlambat tapi Oly sudah mengayuhkan
sepedanya ke jalan. Dia berhenti di taman yang berjarak tiga blok dari rumahnya
dan membuka peta. Tujuan pertama dari Oly adalah toko-toko yang sepi pembeli
tapi ada hiasan Natal. Dia sudah melingkari dengan tanda hijau di petanya.
Hijau berarti target yang mudah. Ada beberapa titik dan Oly mulai beraksi.
Di
toko pertama, Oly tidak mengalami kesulitan apa-apa dan kerusakan yang dia
ciptakan tidak terlalu parah seperti sekolahnya. Dia melanjutkan untuk
menghancurkan hiasan lainnya yang berada sepanjang jalan tersebut tanpa
menimbulkan kecurigaan walau jalanan tersebut tidak terlalu sepi. Oly
melanjutkan menuju daerah yang lain di peta yang ia tandai dengan warna kuning.
Di tempat ini rata-rata banyak orang. Apalagi dekat dengan pusat perbelanjaan
di kota. Oly hanya memandangi orang-orang yang gembira dan cerita keluar
menenteng belanjaan. Dia melihat petugas keamanan menebar senyum ke setiap
orang yang melewati. Ada tiga petugas dan itu akan menyulitkan dirinya. Oly
juga tak ingin dikenali oleh siapa pun di sini. Jadi dia menutupi wajahnya
dengan penutup kepala dan memasang hoodie lalu menjauh. Yang ia butuhkan saat
ini adalah sebuah jarak aman untuk melempar barangnya. Oly menuntun sepedanya
menuju gang di tepi jalan, dia menghitung jarak dan kepadatan jalan raya. Lalu
lintas masih sepi untuk sore seperti ini. Dia juga mengira-ngira tempat CCTV
yang ada di jalan sambil mengendap-endap. Tingkahnya mungkin aneh, tapi siapa yang
curiga dengan kelakuannya? Di kedua tangannya, benda yang siap untuk
menghancurkan dipegang dan dimulailah aksinya. Mungkin daya rusak yang
dihasilkan oleh alatnya tidak terlalu menghebohkan. Tidak ada yang mati dan
tidak ada yang terluka. Tapi cukup untuk merusak bagian depan pusat
perbelanjaan itu walau tak kerusakannya tak parah. Yang Oly fokuskan adalah
segera menuju ke tempat di mana ia taruh sepeda sementara di belakangnya tiga
orang petugas mengejar. Oly hampir saja ditabrak oleh seorang pengendara mobil
kalau dia tidak cekatan untuk berkelit dan meninggalkan ketiga petugas itu lima
meter di belakangnya sampai ia di gang, melompat ke arah sepeda yang dia dorong
lalu mengayuh sepeda menuju jalan-jalan yang sudah ia tandai sebagai rute jalan
keluar. Lima menit berselang, dia mengatur nafas di sebuah gang dekat tong
sampah sambil tersenyum. Tak ada yang mengejarnya dan dia menatap jam
tangannya. Sudah waktunya ayahnya pulang dan kini dia siap melanjutkan misi.
Tujuan
berikutnya memang titik kuning yang jaraknya empat blok dari pusat perbelanjaan
dan tentunya dia akan pulang terlambat bila dia melakukan misinya ini.
Alasannya menempatkan tempat ini sebagai tujuannya sebelum pulang karena
ayahnya bekerja di salah satu gedung di dekat pohon Natal terbesar di kota
tersebut. Biasanya di malam hari akan ada nyanyian dari paduan suara setiap
gereja untuk menarik amal. Kali ini, Oly tidak melakukan perbuatan yang sama
karena dari tadi dia melihat beberapa mobil polisi. Kotanya memang tidak aman
akhir-akhir ini, tapi dia juga menciptakan teror yang lumayan meresahkan namun
tidak menakutkan. Pohon Natal itu berada di daerah pusat yang dikelilingi
gedung-gedung bertingkat. Tidak ada hal yang menarik selain ada taman berjarak
lima ratus meter di situ yang sering digunakan sebagai tempat bermalam para
gelandangan. Di balik pohon Natal raksasa itu ada kolam yang hanya bisa dilihat
kalau hiasan Natal itu rusak atau dipindahkan. Gedung-gedung ini bukan tempat
yang biasa dikunjungi oleh Oly. Tak ada hiburan selain melihat pohon di tengah
kota? Bagi Oly itu seperti menaruh sambal merica di atas popcorn. Oly berjarak
lima ratus dari pohon tersebut dan sudah ada beberapa orang yang berbaju sama
berada di depan pohon. Mereka menyiapkan suara untuk membangun suasana kudus.
Oly menghampiri dua bocah yang tampaknya kebosanan.
“Kau
mau uang?” tanya Oly. Dia menunjukkan dua lembar uangnya. Kedua bocah itu
saling menatap dan mengangguk. “Bagus. Jadi begini ....” Oly menyerahkan
petasan serta kembang api dan menyuruh bocah itu menyalakannya di tengah
keramaian pusat ini. Mereka menyetujui dan Oly memberi aba-aba.
“Sekarang!”
Kini suara petasan mengganti suara keriuhan dan semua orang terkejut melihat
dua bocah itu memainkan petasan dan kembang api di tengah banyak orang yang
tentunya akan membahayakan serta menjadi incaran para petugas patroli. Begitu
semua pandangan teralihkan, Oly segera melempar petasannya ke arah tumpukan
kardus yang berbentuk kado di bawah pohon Natal. Sebelum menjauh dia mendekat
ke salah satu penyanyi.
“Maaf
... tapi bajumu terbakar,” kata Oly ke pria yang diajaknya bicara. Pria itu
sontak melihat ke belakangnya dan api sudah melalap baju belakangnya. Dia
berteriak histeris sontak membuat teman-teman di dekatnya kaget dan heboh
sementara kembang api belum berhenti menyala. Keramaian itu ditanggapi menjadi
jerit ketakutan sebelum Oly berjalan dan menyalakan kembang apinya sendiri.
Jeritan tangis dan menyayat langsung terdengar begitu melihat pohon Natal
terbesar di kota itu terbakar. Liukan api yang melalap menjadi lampu yang
paling terang dibanding lampu-lampu yang menyorot pohon itu.
Oly
menyeringai melihat pemandangan itu. “Selamat liburan.”
This Christmas, everything will
change, when they see the flames,
This Christmas day!
***
Sebelum
dia sampai di rumah, dia harus berbelok dan yakin dia akan terlambat untuk
makan malam. Dia tidak punya ponsel jadi orangtuanya pasti akan kebingungan
mencarinya. Dia tidak peduli. Yang dia tuju adalah perkebunan pohon cemara si
tua Jack. Oly menyenderkan sepedanya di bahu jalan dan berjalan di senja yang
gelap menuju pohon-pohon cemara yang berjejer membentuk hutan kecil. Sambil
berjalan dia membuat menaruh beberapa benda di bawah pohonnya. Sesekali dia
melihat ke arah pondok si tua Jack yang terlihat dari tempatnya berada. Lampu
pondok Jack sudah menyala dan Oly saat beraksi untuk malam ini. Dia
mengeluarkan kapak dari tasnya dan mulai mengayunkannya kepada batang-batang
cemara. Dia tak perlu membuatnya sambil runtuh, cukup membuat bekas kapaknya dalam
dan dia berjalan mengitari kebun itu. Dia tahu kebun ini adalah penghasilan
utama si tua Jack selama satu tahun karena pada bulan November dan Desember,
orang-orang dari kota yang butuh cemara segar akan membeli langsung darinya.
Oly belum pernah bertemu si tua Jack dan dia tidak peduli. Sudah hampir dua jam
dan cuaca semakin menusuk kulitnya—dia melepas hoodie, sweater dan kaus, dia
memutuskan untuk berhenti di pohon cemara yang tak terlalu besar tapi yang akan
dia tumbangkan. Tangannya sudah kram mengapak setidaknya hampir dua puluh pohon
dan di pohon terakhir, dia menuang minyak gas dan membakarnya. Gas itu menyulut
ke atas batang. Di tanah, api juga menyulut ke jalur yang sudah dibuat oleh Oly
menuju ke bungkusan yang dia jatuhkan ke tiap pohon. Dengan sedikit tenaga dari
kakinya, dia menjejak pohon terakhir yang memang rencana dia tumbangkan begitu
api melalap seluruh bagiannya. Dia berlari menuju sepedanya dan mendengar suara
gemeretak api menghanguskan perkebunan itu dan yang diharapkan Oly terjadi.
Efek jatuhnya pohon lalu menimpa pohon lainnya serta lainnya sehingga seperti
efek domino hebat dan suara ledakan dari bungkusan yang dia taruh di setiap
pohon membesar dan menambah luasnya penyebaran api. Oly melihatnya dari pinggir
jalan sebelum memutuskan untuk pulang. Dia terlalu lelah sehingga ketika ibunya
mengomel di depan pintu dia tersenyum sembari mengatakan.
“Ini
Natal bu. Kenapa ibu tidak membiarkan bermain-main?”
Ibunya
paham dan mempersilakan dirinya masuk. Ayahnya menanyai dirinya ke mana saja
karena kota sedang kacau. Oly berbohong bahwa dia sedang mencoba game baru dan
tidak mendengar kekacauan. Ayahnya menceritakan dan kini berita di televisi
menampilkan perkebunan cemara si tua Jack yang hangus. Tak banyak yang rusak
tapi yang terbakar adalah pohon-pohon cemara terbaik yang siap ditebang. Oly
menikmati makan malamnya sendiri sambil mendengar cerita-cerita yang dia buat
hari ini. Tubuhnya begitu lelah dan tidak menghabiskan makan malamnya saat
reporter melaporkan tentang penembakan orang tak dikenal.
Di
kamarnya, Oly merapikan alat-alat yang tersisa dari aksinya barusan. Hanya
tersisa sedikit dan dia melihat petanya. Beberapa titik sudah dia beri silang
dan dia mempertimbangkan akan langsung menuju titik merah di petanya. Ada
beberapa titik merah, tapi dia tahu titik merah yang tepat untuk menjalankan
aksinya. Sekarang yang dia butuhkan adalah tidur.
***
Ville
membangunkan dirinya dari tempat tidur.
“Bung,
apa kau mendengar berita tadi malam! Ini sungguh kacau bung!”
“A-apa?”
Oly membalasnya sambil menutup matanya dan tidak ingin diganggu. Ini hari libur
sehingga dia tahu Ville sedang bermain ke rumahnya.
“Sekelompok
orang mencoba menghancurkan Natal bung! Ini gila! Ini seperti ....” Ville
berhenti bicara. Oly meliriknya dan melongok ke bawah kasur. Ville sedang
memandangi petanya dan mengangkat kapaknya.
“Kau
punya seperti ini? Ini seperti nyata! Buat apa?!” Oly bersyukur Ville tidak
bertanya macam-macam. Oly merebahkan kepalanya. “Kau buat apa bung?!”
“Aku
membuat rumah pohon. Oke?! Sekarang diamlah dan biarkan aku tidur.”
“Maafkan
aku. Tapi orangtuaku ada bersama orangtuamu. Mereka merencanakan pesta atau
sesuatu. Lagi pula aku bosan di rumah dan mereka takut ada penembak misterius
itu. Kota ini sepertinya terkutuk.”
“Baguslah
kalau begitu.” Oly mulai mendengkur sebelum akhirnya Ville bicara lagi.
“Bolehkah
aku main video game-mu?” Oly hanya menjawab dengan melempar bantalnya dan
melanjutkan tidur.
Oly
akhirnya bangun dan ikut bermain karena Ville tidak mengecilkan volume suara
permainannya. Mereka berdua bermain sampai orangtua Ville memutuskan untuk
pulang.
“Kau
sudah beli hadiah Natal untukku bung? Kurasa aku menemukan hadiah yang tepat
untukmu.”
Oly
terdiam sambil memandang layar televisi dan terus bermain.
“Sampai
bertemu besok.”
Ville
keluar dari kamarnya dan Oly masih merasa kosong. Dia membuka internet dan
melihat berita tentang kotanya. Walikota sudah mengumumkan adanya jam malam dan
semua hiasan Natal yang di rusak terpaksa tidak digunakan lebih dahulu. Lalu
dirinya menghimbau agar tidak berkeliaran sendirian pada malam hari demi
mengurangi jatuhnya korban. Para polisi juga sudah dikerahkan untuk menjaga
gereja. Oly bergegas keluar dari kamarnya dan pamit keluar.
“Kau
mau ke mana?” tanya ibunya. “Bukankah kau kemarin malam sudah pulang terlambat?
Dan tidak ada yang boleh keluar sendirian di malam hari karena walikota sudah
mengatakannya?”
Oly
menemukan alasan yang bagus. “Aku mau beli kado Natal untuk Ville.”
“Kau
bisa mengajak aku atau ayahmu. Jangan keluar sendirian.” Ayahnya sekarang
sedang menonton ulang pertandingan ulang sepak bola di televisi sambil memegang
jus hangat.
“Err
... oke. Tapi kurasa aku perlu keluar sendiri saja. Aku mau mengembalikan game
milik Ville. Tadi ketinggalan.”
Ibunya
masih tidak percaya tapi Oly sudah menuntun sepedanya keluar rumah. Dia segera
mengayuh sepedanya cepat demi mengusir udara dingin. Selama dia mengayuh, dia
mendengarkan beberapa rumah menyetel lagu-lagu Natal diiringi dengan tawa yang
memecah. Tidak ada yang berjalan-jalan di luar seperti dirinya saat ini. Hanya
beberapa mobil yang dia temui dan itu tak membuatnya khawatir. Tujuannya kali
ini ada mengecek target terakhirnya malam ini. Satu target terdekat dari
rumahnya sudah dia tandai dengan warna merah di benaknya karena dia melihat
beberapa polisi sedang menyisir di sekitarnya. Oly mengayuh sepedanya lagi,
target kedua terdekat berada satu blok dari sekolahnya dan dia harus menandainya
dengan tanda merah. Masih ada beberapa target yang dia belum tandai. Dia
berhenti untuk makan di kedai yang jaraknya dua blok dari targetnya yang baru.
Pelayan perempuan yang melayaninya berbau minyak goreng.
“Kau
mau ke mana anak muda?”
“Berjalan-jalan.
Mencari kado.” Oly menjawabnya sambil mengunyah roti lapis daging yang dia
pesan.
“Berhati-hatilah.
Mereka senang daun muda seperti mu.”
Oly
tidak menghiraukan perkataan perempuan itu dan menekuri peta kotanya sekali
lagi. Beberapa target dia tandai dengan tanda merah secara langsung karena tempat
itu berada di wilayah ramai atau berjarak dekat dengan kantor polisi. Dia juga
memutuskan untuk tidak bertindak di target dekat kedai ini. Oly memutuskan
untuk melanjutkan mencari target sebelum sore hari sementara cuacanya semakin
dingin ditambah dengan gerimis lembut. Terlalu banyak target dan pertimbangan
bahwa target tersebut memang selalu dicari banyak orang memang membuat Oly
berpikir untuk menelepon ibunya dari telepon umum.
“Ya
... aku tak apa. Aku cuma penasaran. Besok pagi di mana kita akan pergi ke
gereja?”
Oly
menyeringai mendengar jawaban ibunya. Cepat ia mengayuh sepedanya dan menuju ke
pinggiran kota dan melihat gereja tua itu tanpa adanya pengawalan dari polisi.
“Aku
menemukan target terakhirku.”
***
Oly
percaya adanya sosok Grinch yang suka mencuri hadiah Natal dan mengacaukannya.
Sosok itu fiksi tapi saat ini dia terbayang sosok itu sudah menjelma jadi
dirinya seutuhnya. Dia punya topeng Grinch yang dibeli murah sewaktu masih
kecil dan topeng itu masih muat di kepalanya. Sewaktu orangtuanya tidur, dia
mengendap-endap keluar dari rumahnya, membuka pintu garasi yang dia sengaja
buka selotnya sehabis makan malam agar dia bisa mengeluarkan sepedanya dengan
gampang dan kini Oly sendirian bersepeda di saat semua orang terlelap
memimpikan hadiah Natal apa yang akan mereka terima esok.
Tonights the night, I have to do it
right now!
So, I will strike when all's asleep
And creep, sneaking through your
chimney!
Saint Nic is gone for now
Oly
mendongak ke langit malam yang mendung. Dia berharap menemukan siluet kereta
yang ditarik oleh rusa dan bertemu dengan Santa Claus yang mencoba mencegah
niat buruknya dan Piet Hitam akan langsung memasukkannya ke dalam kantong. Tapi
kalau itu terjadi, Oly ingin sekali berduel dengan pria gemuk berjenggot putih
itu. Dia yakin akan menang walau dia akan menggunakan cara licik.
Tempat
tujuan malam ini berada di sekitar perkampungan. Rumah-rumah lawas yang
biasanya diisi oleh pasangan tua yang menghabiskan masa tuanya. Tapi gereja
yang dia tuju masih agak jauh lagi walau tempat yang ia lewati tak terlalu
gelap. Oly menaruh sepedanya di ujung jalan dan mengamati gereja tersebut.
Lonceng tua yang berada di atas menara terlihat begitu kokoh. Ada hiasan gua
Natal di samping pintu masuk gereja seperti yang dipasang di aula sekolahnya.
Oly menyiramnya dengan bensin gua itu lalu berjalan mengitari gereja dengan
terus menuang bensin. Walau gereja itu berada di pinggir jalan, di sekitar
gereja itu tak ada bangunan sipil jadi efek kebakaran yang dihasilkan tidak
akan merembet ke mana-mana. Di belakang gereja terdapat pemakaman umum dan jauh
di belakangnya hutan lindung. Sewaktu Oly melewati belakang gereja untuk
mengganti bensin, dia merasa ada yang mengawasinya dari kejauhan. Pikir Oly
kalau itu binatang buas yang mau mencegah perbuatannya, lebih bagus daripada
harus berhadapan dengan orang dewasa. Seusai dia menuang bensin, Oly tidak
buru-buru untuk menyalakan api. Dia baru tahu kalau pintu samping gereja tidak
dikunci. Jadi dia masuk ke dalam untuk melihat seperti apa gereja tersebut.
Sekalian menghabiskan bensin sisa yang ada di dalam tasnya.
Gereja
itu mampu menampung sekitar 500 umat di dalamnya. Ruangannya tak terlalu luas
namun kesannya terlalu menakutkan bila tidak ada lampu yang dinyalakan. Toh
sebentar lagi akan ada api yang membuat gereja itu tampak jauh lebih terang.
Sembari memandangi gereja, Oly juga menuangkan bensin di dalam ruangan itu
sampai bau bensin menyeruak. Di depan altar, Oly tersenyum dan menghabiskan
sisa bensinnya dan menaruh bungkusan petasan terakhir di bawah pohon Natal di
dekat altar.
“Apa
yang kau lakukan, Nak?”
Suara
itu tidak mengagetkan Oly sama sekali. Dia tetap santai menaruh petasan sambil
berpikir, dia akan menyulut api itu sekarang dan lari secepat-cepatnya. Namun
begitu menengok dan melihat pastur berada di belakangnya dia merasa kasihan
harus mengorbankan pastur tua itu bersama gereja yang terbakar ini.
“Tidak
ada. Aku hanya menaruh hadiah. Besok aku tidak ke gereja,” jawab Oly santai.
Dia hendak pergi seolah tak pernah terjadi sesuatu dan dia berniat membakar
gereja itu dari luar setelah tidak berurusan dengan pastur tua itu.
“Kau
mencium bau bensin di sekitar sini?”
“Tidak.”
“Tapi
aku melihat ada satu wadah bensin di belakang dan berbotol-botol minyak yang
cepat terbakar di samping dan di dekat gua.”
“Apa
maumu?!” Oly kesal dan dia berpikir bahwa setidaknya dengan kekuatannya, dia
mampu mengalahkan pastur tua itu. Toh sekarang dia memakai topeng Grinch.
Identitasnya tidak akan terungkap.
“Kau
hendak membakar tempat suci ini anak muda?”
“Ya.
Dan itu hanya bagimu tempat ini suci. Bagiku tidak.”
“Kau
mengimani-Nya?”
“Tentu.
Tapi tidak saat ini. Aku ingin ditangkap Piet Hitam.”
“Kenapa?”
“Aku
bosan menjadi orang baik.”
“Tapi
Dia tidak pernah bosan membuat orang menjadi baik. Apakah kau tahu tentang
kasih-Nya?”
“Dengar
pastur. Aku tidak perlu ceramahmu. Kau tak bisa mencegahku. Aku sudah menyebar
setidaknya berliter-liter bensin dan akan membuat tempat ini terbakar dengan
sekejap. Ada petasan yang mudah terbakar di sini—“ Oly menunjuk ke pohon Natal
di dekatnya, “—dan di gua depan.”
“Kau
pelaku perusakan hiasan Natal di kota bukan? Pohon Natal raksasa itu juga?”
“Ya.
Kau sudah tahu sekarang. Apakah kau mengampuni dosaku?”
Pastur
itu tersenyum. “Asal kau bersedia bertobat, Dia akan mengampuni dosamu.”
“Sayangnya
itu tidak akan terjadi sekarang. Aku mau pergi. Ke sini membuatku capek.”
Saat
Oly hendak melangkah, pastur itu berkata lagi. “Kau tahu kenapa gereja ini
tidak dijaga?”
“Bukan
urusanku,” sahut Oly yang tetap melangkah dan mengitari bangku-bangku jemaat
tidak ingin mengonfrontasi pastur itu secara langsung.
“Karena
ini adalah gereja yang paling tua di kota ini. Tidak ada lagi umat datang ke
sini karena mereka pikir gereja ini kuno.”
Oly
memandangi pastur itu dari balik topengnya. Dia melihat kerutan di wajah pastur
itu membentuk senyuman.
“Berterima
kasihlah padaku karena dengan aku membakar gereja ini maka gereja ini akan
segera dipugar dan dibangun gereja baru,” kata Oly sinis.
“Jadi
apa tujuanmu membakar gereja ini?”
Oly
tidak sabar lagi. Dia menyalakan korek apinya. “Lihat. Api ini akan kubuang dan
gereja ini akan terbakar secara cepat. Mungkin karena cuaca dingin, butuh waktu
lama, tapi kau tidak tahu petasan yang kutaruh itu bisa membakar apapun dengan
cepat dan menimbulkan ledakan. Kalau kita berdua tidak menyingkir, kita akan
habis terbakar.”
Pastur
itu tersenyum dan duduk di salah satu bangku. “Lakukan sesukamu, anakku.”
Oly
tambah bingung dengan sikap pastur itu. “Apa maksudmu? Hei! Pergilah!”
“Tidak.
Aku tidak akan pergi. Ini tempatku sejak dulu dan aku ingin tinggal di sini
lebih lama lagi. Kau yang pergi. Aku tidak memanggil polisi atau pemadam
kebakaran. Lakukan tugasmu dan pergilah.”
“Kau
sudah kuperingatkan.” Oly keluar melalui pintu samping dan mengatur nafasnya.
Dia mengintip dan pastur itu masih berada di dalam. “Sial!”
Oly
merasa dirinya bimbang. Dia tidak mau menjadi pembunuh. Tidak. Dia hanya ingin
membakar Natal dan merusaknya. Tapi melihat pastur itu masih berada di dalam
gereja, rencananya gagal. Dia ingin sekali memukuli pastur itu sampai pingsan
dan menyeretnya menjauh agar tidak ikut terbakar, tapi tetap saja ... dia tidak
bisa. Oly kembali masuk dan berteriak sambil gemetar.
“Pergilah
dari tempat itu pak tua! Aku akan membakar tempat ini!”
Pastur
itu menjawabnya dengan lembut. “Aku sedang berdoa anakku. Kau mengusir orang
berdoa dari rumah-Nya? Aku sudah mengatakan padamu. Lakukan apa tugasmu dan aku
melakukan tugasku. Kita semua punya peran masing-masing di dunia ini. Aku akan
berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaanmu.”
Oly
tak bisa menahan gemetar tubuhnya. “K-kenapa?”
“Kau
anak baik, anakku. Kau hanya tidak tahu bahwa sebenarnya kau kesepian. Tidakkah
kau ingat bahwa Dia tidak akan pernah meninggalkan siapa pun yang mau bertobat
pada-Nya. Dia akan mencari anak domba-Nya yang hilang. Dia—“
“Tutup
mulutmu!”
Oly
merasa topeng yang ia pakai menjadi sesak. Dia berlari keluar dan membuka
topeng itu di bawah pohon halaman gereja. Dia merasa lega dan tak sadar bahwa
air matanya keluar. Oly menangis. Kata-kata pastur tadi terngiang di kepalanya.
Ada yang salah dengan ini semua. Dia tak mampu berpikir dan memutuskan untuk
mengembalikan rencana jahatnya sambil bersandar di bawah pohon itu menatap
gereja dan mendengarkan suasana senyap sekitarnya.
Dari
kejauhan, ketika Oly sudah bisa mengontrol nafasnya dia mendengarkan lagu
“Malam Kudus” mengalun pelan dibawa angin. Pikiran Oly menerawang ketika dia
kecil dirinya selalu menyanyikannya bersama kedua orangtuanya. Pikiran itu
tidak menenangkannya malah membuatnya semakin sesak. Dia teringat
teman-temannya yang menunggu Santa Claus sehabis perayaan Natal. Suara tertawa
mereka mendapatkan hadiah. Dan teman-teman yang nakal setelah mereka dibujuk
untuk masuk ke dalam karung Piet Hitam namun tetap saja Santa Claus memberinya
hadiah. Oly merasa semua tubuhnya luruh. Dia memutuskan untuk pulang. Tubuhnya
terlalu tak bisa menahan apa yang bergemuruh di dalam hatinya. Suara lagu-lagu
Natal semakin mengumandang dan Oly memantapkan dirinya untuk membatalkan
rencananya.
“Hei
bocah.”
Oly
melihat siapa yang menyapanya dan semuanya terjadi begitu cepat. Oly limbung
dan tubuhnya jatuh ke jalanan. Dia merasakan jalanan itu yang dingin langsung
memanas. Tubuhnya tak bisa melawan kehendak setelah dia mendengar suara letusan
dan dadanya terasa ngilu. Oly ingin lari tapi terlambat. Dia tidak ingat
apa-apa lagi, kecuali pria yang menembaknya menggeledah tubuhnya, menemukan
korek api dan menyalakannya untuk membakar rokok yang dari tadi menggantung di
mulutnya.
“Selamat
Natal,” kata suara itu kasar dan membuang korek tepat ke jalur bensin yang
dituang oleh Oly. Api itu melalap gereja itu dengan cepat. Oly sudah tidak
bergerak dan pria itu berlari menjauh tak menduga api kecil itu sanggup
membakar gereja itu dengan cepat.
“Ho
... ho ... ho ...” teriak pria itu kencang sambil menaiki rusa berhidung merah
yang menyala lalu terbang tinggi meninggalkan korban anak kecilnya yang nakal
dan gereja yang terbakar.
Malam
Natal kali itu segalanya berubah menjadi panas dan gelap. Laskar surgawi
menyanyi untuk menyambut kedatangan ... siapa lagi? Dan lagi ... siapa peduli?
(Madiun,
02-07 Desember 2014)
Merry
KissmyAss
*Set
It Off – This Christmas (I’ll Burn It to the Ground)
Janji harus ditepati. Saya sudah download cerpennya. Habis baca, pasti mampir lagi buat komentar, atau nggak, di Twitter aja :p
BalasHapusya udah dibaca dulu...
BalasHapus