Pagi ini, ada hal
yang mengganggu saya.
Bukan ... bukan
karena saya ngompol, tapi sebuah pemikiran membuat saya gatal dan akhirnya
ngompol.
Saya teringat masa
lampau. Saya teringat akan sikap saya kepada orang.
Jadi ... ini adalah
tentang sebuah pertemanan.
Sikap saya dengan
teman ini dulu boleh dibilang sangat friendly. Saya sering membantu dia, begitu
pula sebaliknya. Sikap teman ini sangat natural. Sebenarnya dia pemarah tapi
dalam kondisi tertentu. Misal sewaktu saya membakar bulu kakinya dia.
Tapi suatu waktu,
kita berpisah. Saya malu karena dia ternyata lebih berhasil daripada saya.
Pacarnya setiap bulan gonta-ganti. Setiap si cewek mens, dia ganti cewek.
Dompetnya lebih tipis daripada saya yang tidak punya dompet. Kendaraannya hanya
beberapa puluh tahun lebih jadul ketimbang punya saya tapi dia sukses.
Dalam artian dia
tidak pernah menulis racauan seperti saya tapi dia duduk di sebuah kantor dan
menulis laporan keuangan.
Setelah berpisah
ini, kita jarang kontak sama sekali. Bahkan dengan sengaja, saya unfriend
pertemanan dia di facebook. Nomornya saya blok. SMS yang masuk dari dia tidak
saya hiraukan.
Kenapa saya berbuat
demikian?
Itu semua karena
saya telah berubah sikap. Sikap saya yang dulu berteman menjadi sikap iri. Iri
karena dia lebih sukses daripada saya.
Dulu bahkan kami
berandai-andai di antara asap rokok dan di atas balkon kosannya. Kita bermimpi,
bagaimana kalau salah satu di antara kita nanti sukses.
Apa yang akan kita
lakukan satu terhadap yang lainnya?
Meninggalkan atau
terus berteman.
Dia bilang saat saya
sudah meluncurkan buku, kalau saya sampai melupakan dia, dia akan membacok
saya. Saya tahu itu guyon yang berarti, jangan pernah melupakan dia sebagai
teman.
Tidak. Bahkan sampai
saat ini saya malah ragu, dia ini teman atau bukan karena tadi.
Sikap saya berubah
dengan cepat.
Lalu saya berpikir,
sikap pada diri manusia itu bisa berubah dalam rentang waktu berapa lama?
Manusia adalah
makhluk labil. Bahkan saking labilnya, seorang manusia tidak tahu kalau dirinya
itu manusia.
Ini direfleksikan
kepada pengalaman saya tadi. Saya berteman dengan seseorang. Dulu saya tidak
pernah iri dengan dia. Lalu suatu ketika dia lebih sukses daripada saya, saya
justru malu dan menghindar dari dia karena takut ada sebuah rumusan
perbandingan.
Yah ... manusia
memang sering membanding-bandingkan bukan? Memilih mana yang terbaik.
Lalu ... apakah
sikap saya yang menghindar dan tidak berteman dengan dia itu pantas atau memang
jalan yang tepat?
Inilah yang sampai
saat ini membuat saya syahdu.
#syahdumomen |
Saya gagal sebagai
seorang teman karena sikap saya yang berubah. Tapi ... sampai saat ini pun,
saya belum sekedar menyapa dia atau tahu kabarnya. Sikap saya mendingin.
Saat ini, saya
memang dalam kondisi gagal.
Tapi saya bangkit
dengan tulisan-tulisan saya. Beberapa orang terhibur dan cukup tahu kalau saya
sudah punya buku pertama. Sebentar lagi akan disusul dengan buku kedua. Ketiga
dan seterusnya ....
Semoga saja, dia
juga membaca hal ini.
Pahamilah,
sikap manusia itu
ditentukan oleh iklim perasaan hati mereka. Tak jarang mereka sendiri bukanlah
pawang bagi hati mereka. Tapi mereka bisa menghindari dan mencegah agar
perasaan mereka bisa sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Dan saya ...
ternyata harus menjemur kasur bekas ompol saya.
Salam syahdu
[JJ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar